Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Tan Malaka adalah tokoh
yang sangat berjasa bagi Indonesia. Dialah pencetus pertama berdirinya Republik
Indonesia, sebagaimana ditulisnya dalam bukunya yang berjudul ‘Naar de
Republiek Indonesia’ (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, beberapa tahun
sebelum Bung Hatta dan Bung Karno menulis buku soal konsep kemerdekaan
Indonesia. Pemikirannya banyak dijadikan rujukan oleh Bung Karno dan tokoh
pergerakan lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno
bahkan memberinya gelar sebagai ‘orang yang ahli dalam revolusi’, sementara Moh
Yamin dalam tulisannya di sebuah artikel koran menyebut Tan Malaka sebagai
‘Bapak Republik Indonesia.’
Melalui buku ini, pembaca akan diajak mengikuti perjalanan
hidup Tan Malaka, yang ternyata memang sangat menarik dan revolusioner,
sekaligus tragis. Dia ternyata sosok pemikir yang terjun langsung berusaha
mendidik anak-anak di sekolah. Ya, Tan Malaka adalah seorang guru, yang
benar-benar berpeluh mengajar anak-anak di sekolah-sekolah Syarikat Islam (SI),
dengan gaji sangat minim, dengan ketersediaan biaya operasional jauh dari
cukup. Dengan ijazah guru lulusan Belanda yang dimilikinya, Tan Malaka bisa
(dan sudah) mengajar di sekolah milik Belanda dengan gaji sangat tinggi.
Namun kesempatan itu dia tinggalkan untuk mengajar di sekolah SI di Semarang
pada Juni 1921.
Pemerintah kolonial saat itu mengizinkan dibukanya
sekolah-sekolah SI karena mengira sekolah-sekolah itu akan tutup dengan
sendirinya karena tidak ada dana. Tan Malaka dkk pun merencanakan membuat pasar
amal untuk mencari dana, namun dilarang pemerintah. Akhirnya, murid-murid ke
kampung-kampung dengan dikawal orang dewasa, untuk mencari sumbangan dari
penduduk kampung. Bahkan Tan Malaka ikut terjun langsung, mengawal
murid-muridnya mencari sumbangan (hal 81). Dalam waktu singkat, sekolah SI
memiliki banyak murid dan mendapatkan undangan untuk mendirikan cabang di
berbagai kota. Cabang-cabang SI di berbagai kota lain pun meraih simpati
masyarakat dan banyak yang mengirimkan anak-anak mereka bersekolah di SI.
Bahkan cara mengajar TanMalaka pun sangat visioner: anak-anak dibebaskan untuk
belajar dan mengerjakan sesuatu, sedangkan guru membimbing dan memberi nasehat.
Pemerintah Belanda akhirnya khawatir melihat kemajuan pesat
sekolah SI. Tan Malaka pun dibuang ke Belanda pada Februari 1922, hanya delapan
bulan setelah Tan Malaka mulai mengajar di SI.
Selanjutnya di buku ini diceritakan bagaimana perjuangan Tan
Malaka untuk kemerdekaan Indonesia selama masa pembuangan, dengan bahasa yang
menarik dan mudah dicerna, sehingga terasa bak membaca novel. Di akhir
buku, dikisahkan episode tragis kehidupan Tan Malaka (dan Indonesia), yaitu
perpecahan di antara sesama tokoh pejuang kemerdekaan.
Tan Malaka menolak ajakan untuk bergabung dengan pemerintah
Sukarno-Hatta karena dia menentang politik diplomasi yang merugikan Indonesia,
dan karena kritik-kritiknya pada pemerintah, dia bahkan dijebloskan ke penjara
sebagai tahanan politik. Di sisi lain, Tan Malaka juga menolak pemberontakan PKI
melawan pemerintah dan bahkan mendukung tindakan pemerintah membungkam
pemberontakan itu. Dia menulis (mengomentari pemberontakan PKI 1948):
Tetapi karena aksi PKI Musso ditujukan kepada pemerintah
Republik yang ada sekarang, pertama sekali, urusan dan kewajiban
pemerintah inilah pula membela kekuasaannya. Tidak bisa dua kekuasaan
tertinggu ada dalam satu negara. Rakyat harus tahu mana pemerintah yang harus
diikutinya.” (hal 268)
Pada bulan November 1948, Tan Malaka mengingatkan pemerintah
akan terjadinya agresi militer Belanda akibat politik diplomasi yang tak
kunjung memuaskan kedua pihak (Indonesia-Belanda). Namun pemerintah tak
menghiraukan, dan terus berunding dengan Belanda. Benar saja, Desember 1948,
Belanda melancarkan agresi, Sukarno-Hatta ditangkap dan dibuang ke Sumatera.
Sukarno-Hatta memerintahkan Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk
pemerintahan Darurat RI di Sumatera Barat.”
Sementara itu Jenderal Sudirman mengumumkan kondisi darurat
Perang dan memilih jalan tegas untuk melawan belanda melalui perang gerilya.
Tindakan Jenderal Sudirman ini sebenarnya sejalan dengan Tan Malaka, yang sejak
awal menolak segala bentuk perundingan dengan Belanda. Tan Malaka aktif menyeru
rakyat untuk berjuang angkat senjata melawan Belanda.
Ironisnya, militer RI dan lawan-lawan politiknya justru
menuduh Tan Malaka ingin memberontak dari RI. Pada tanggal 21 Februari 1949,
Tan Malaka ditangkap dan ditembak mati oleh tentara Militer Divisi I Jawa
Timur. Dia ditembak mati dalam kondisi Indonesia sedang diagresi oleh Belanda
dan pada saat dia sedang memimpin rakyat angkat senjata untuk mengusir Belanda.
Sungguh tragis.
“Tan Malaka orang yang luar biasa dan petualangannya sangat
menarik, saya harus melintasi dua benua dan dua negara untuk mencari jejak
sejarahnya, jejaknya ada dimana-mana.”(Harry A. Poeze, lebih 20 tahun meneliti
Tan Malaka).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar