Hakikat manusia dalam pandangan ilmu
sosiologi menurut Bapak Agus Comte “konsep manusia dalam ilmu sosiologi belum
sepenuhnya melihat manusia sebagai mahluk yang utuh dan mandiri”. Comte
berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan individu. Baginya manusia itu
ada untuk masyarakat dan masyarakatlah yang menentukan segala-galanya. Comte
melihat bahwa manusia adalah non-rational. Oleh karena itu menurutnya
“individual liberty” justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat
itu sendiri.
Demikian juga dalam masyarakat, tak
seorangpun dapat berpendapat lain dari pada apa yang telah diputuskan oleh
golongan tertinggi masyarakat itu, yaitu “The Intellectua
Scientific Religious Group.” Ini berarti bahwa manusia adalah hanya
suatu bagian dari masyarakat. Ia hidup dalam masyarakat tetapi ia tidak dapat
mengarahkan masyarakat sesuai dengan keinginannya. Dalam pendidikan manusia
diibaratkan suatu benda kosong dan adalah tugas masyarakat untuk mengisinya
dengan norma-norma atau nilai-nilai yang dapat membuat masyarakat ini berbuat
secara lebih terarah dalam artian tidak menggangu sistem.
Oleh karena itu Sosialisasi dalam
kehidupan manusia dipandang sangat penting. Namun bagi Indonesia, konsep
manusia yang diberikan oleh Comte sulit untuk diterima, karena konsep tersebut
terlalu memberikan porsi yang besar pada masyarakat, sedangkan individu tidak
diberi kesempatan untuk aktif melakukan kegiatan kemasyarakatan. Pemerintah
Indonesia bertujuan membentuk manusia seutuhnya, artinya melihat manusia tidak
hanya sekedar menerima nilai-nilai masyarakat saja, tetapi ia juga dapat
menciptakan nilai-nilai baru dan menyampaikannya pada masyarakat. Oleh karena
itu partsipasi seluruh rakyat dalam proses pembangunan adalah sangat penting
dan diperlukan. Melihat situasi yang ada di atas saya dapat menyimpulkan bahwa
manusia dalam hakekat sosiologi sangat lah perlu diperhatikan dalam pendidikan
karena manusia tidak bisa hidup sendiri dan perlu untuk bersosialisasi.
Kemudian manusia tidak hanya sekedar menerima nilai-nilai masyarakat saja,
tetapi ia juga dapat menciptakan nilai-nilai baru dan menyampaikannya pada
masyarakat.
Hakikat manusia dalam pandangan Islam
menurut al-qur’an adalah Manusia diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati
tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudah sehingga akhirnya menjadi makhluk
yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia
wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah Swt. Jadi manusia
merupakan makhluk yang luar biasa kompleks. Sedemikian sempurna manusia
diciptakan oleh Sang Pencipta dan manusia tidak selalu diam karena dalam setiap
kehidupan manusia selalu ambil bagian. Kita sebagai manusia harus menjadi
individu yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Manusia itu tidak
sepenuhnya sempurna, dalam kehidupan yang kita jalani pasti selalu ada masalah
yang tidak bisa kita selesaikan, oleh karena itu juga membutuhkan bantuan dari
orang lain, karena manusia adalah makhluk sosial sama seperti yang lain karena
manusia tidak bisa berdiri sendiri, dalam hal agama kita juga mempunyai banyak
maka dari itu kita harus saling menghargai dan mengasihi karena kita sama-sama
makhluk yang diciptakan tidak ada bedanya , selain itu dalam hidup manusia juga
terdapat banyak aturan yang harus kita patuhi sebagai umat manusia.
Pandangan psikologi dalam Hakikat
manusia mengarah pada sifat manusia yaitu sifat-sifat karakteristik segenap
manusia. hakikat manusia dalam kajian ini yang dimaksudkan adalah sesuatu yang
esensial dan merupakan ciri khas manusia sebagai mahluk yang dapat menjadikan
manusia berbeda dengan mahluk-mahluk lainnya. Pada dasarnya atau pada
hakikatnya hidup manusia adalah pengalaman bersama, hidup manusia, bahkan
didalam unsur-unsurnya yang paling individual, merupakan kehidupan bersama dan
tingkah laku manusia, didalam strukturnya yang asasi, yang selalu menunjukkan
kepada pribadi. Bertolak dari pengertian psikologi yang menelaah perilaku
manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi,
kualitas kejiwaan dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama
perilaku dan corak kepribadian manusia. Islam memandang manusia sbagai makhluk
Tuhan yang memilki keunikan dan keistimewaan tertentu. Sebagai salah satu
makhlukNYA karakteristik eksistensi manusia harus dicari dalam relasi dengan
sang pencipta dan makhluk-makhlukNYA. Pandangan Islam dan psikologi berjumpa
pada diri manusia sebagai salah satu fenomena Tuhan dengan segala karakter
kemanusiaanya tetapi sebuah perjumpaan tidak selalu berarti pertemuan. Tinjauan
islam dan psikologi yang sama-sama menyoroti manusia ternyata hasilnya tidak
selalu sejalan.
Hakikat manusia dalam ilmu tasawuf
menurut Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan
Al-jism. Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh
adalah panas alam di (al-hararat al-ghariziyyat) yang mengalir pada
pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang
tersusun dari unsur-unsur materi. Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling
tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada
suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama
sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i(prinsip alami), yang
memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati. Selain itu,
Al-Ghazali juga menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai
dimensi dan substansi (tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan
bergerak dengan kemauan. Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di
sini, ia tidak membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas
alami, tetapi ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs
dalam arti esensi manusia, yaitu al-nafs al-nabatiyyat (jiwa
vegetatif) dan al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif).
Menurut Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs
al-nathiqah) sebagai esensi manusia mempunyai hubungan erat dengan badan.
Hubungan tersebut diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dengan
kudanya. Hubungan ini merupakan aktifitas, dalam arti bahwa yang memegang
inisiatif adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk
mencapai tujuan. Ini berarti bahwa badan merupakan alat bagi jiwa. Jadi,
badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya dan tujuan itu akan ada apabila
dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan
potensi-potensinya. Dari penjelasan Al-ghazali diatas saya mengartikan bahwa
badan hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang inisiatif yang
mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai kemampuan
apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai tujuan. Badan
menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, jiwalah nanti
yang akan menikmati dan merasakan bahagia atau sengsaranya di akhirat
kelak. Dengan demikian terlihat jelas bahwa telah ditemukan dasar pemahaman
yang mendalam pada filsafat tentang manusia.
Referensi:
http://www.kompasiana.com/mauidhotulkhasanah/hakikat-manusia_54f829afa33311af608b4cd7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar