Sumber Pengetahuan
Semua
orang mengakui memiliki pengetahuan. Namun dari mana pengetahuan itu diperoleh
atau lewat apa pengetahuan itu di dapat. Dari sana timbul pertanyaan bagaimana
kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan didapat.
Sebelum membahas sumber pengetahuan, terlebih dahulu mengetahui tentang
hakikat pengetahuan. Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental.
Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata
lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada diluar akal. Persoalannya
kemudian adalah apakah gambar itu sesuai dengan fakta atau tidak? Apakah
gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat dengan kebenaran atau jauh
dari kebenaran?
Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
a. Realisme
Teori
ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme
adalah gambaran atau copy yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata
(dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah
copy dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti
gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat
bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan
kenyataan.
b. Idealisme
Idealisme
adalah menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai
dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau
proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan
gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas.
Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang
membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak
menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran
menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui atau (subjek)
Setelah
kita mengetahui tentang hakikat pengetahuan dan pemaparan kedua madzhab yang
menjelaskan hakikat ilmu itu sendiri, maka yang menjadi pertanyaan lanjutan
adalah dari mana pengetahuan itu bersumber? Pengetahuan yang ada pada kita
diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber
pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat
tentang sumber pengetahuan:
1. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut
aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila
dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah
pengalaman inderawi.
Dengan inderanya, manusia dapat
mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan masuk ke dalam medan
intensional, walaupun masih sangat sederhana. Indera menghubungkan
manusia dengan hal-hal konkret-material. Pengetahuan inderawi
bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indra yang satu
dengan indra yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan
dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indra menangkap
aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi
pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada
sensibilitas organ-organ tertentu.
2. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan.
Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh
pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Dalam penyusunan ini akal
menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai
wujud dalam alam nyata yang bersifat universal. Yang dimaksud dengan
prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda kongkret, seperti
hukum kausalitas atau gambaran umum tentang benda tertentu. Kaum rasionalis
yakin bahwa kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3. Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu
masalah dan tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa
melalui proses berfikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai
disitu. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya
bagaikan kebenaran yang membukakan pintu. Atau bisa juga, intuisi ini
bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu
permasalahan ditemukan tidak tergantung waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutnya. Namun intuisi ini bersifat
personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan
secara teratur maka intuisi ini tidak bisa
diandalkan.
4. Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan ini disalurkan oleh nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama
merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah
yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari
kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan
hal-hal yang ghaib (supernatural). Keparcayaan kepada Tuhan yang merupakan
sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan
terhadap wahyu sebagai cara penyampaian,merupakan dasar dari penyusunan
pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu
pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima: pernyataan ini bisa
saja selanjutnya dikaji dengan metode lain.
2.
Pengetahuan Menurut Islam
Wawasan
tentang yang kudus yang telah menghilang dari konsepsi Barat tentang
pengetahuan merupakan titik sentral dalam teori Islami tentang pengetahuan.
Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Islami dari cara Barat, adalah
keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berfikir yang pertama bahwa
Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya
tertmasuk pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain
adalah Allah. Oleh karena sumber pengetahuan adalah yang Kudus, maka tujuan
pengetahuan itu tidak lain adalah kesadaran mengenai yang
Kudus. Sumber pengetahuan menurut Islam, bahwa mereka percaya bahwa
pengetahuan mengenai sifat Allah, takdir manusia, penciptaan alam semesta,
kehidupan di akhirat dan mengenai masalah-masalah lainnya yang bersifat
transendental berasal langsung dari Allah dan dalam prinsipnya tidak dapat
diperdebatkan. Metafisiska memang membahas masalah-masalah itu, akan tetapi
karena sifatnya transendental, lintas-empiri dan supra-inderawi, maka
masalah-masalah itu kedap terhadap segala upaya dari kaum terpandai sekalipun
di dunia, dan oleh karenanya dianggap bagai ³tidak terpecahkan´ walaupun diakui
sebagai masalah-masalah abadi filsafat. Oleh karena pembahasan yang mendasar
itu artinya masalah-masalah abadi filsafat oleh para ahli metafisika, tidak
membuahkan hasil-hasil yang bermanfaat, maka metafisika dinyatakan sebagai
tidak signifikan, tidak kognitif, dan proposisi-proposisi metafisika
sebagai tidak bermakna. Disamping pengalaman inderawi dan rasio para filosof
muslim juga mengakui intuisi sebagai jalan memperoleh pengetahuan. Oleh sebab
itu, apa yang dinyatakan sebagai tidak signifikan dan tidak kognitif
dengan alasan tidak dapat diferifikasi dan tidak empiris masih bisa bermakna, apabila sudah diakui bahwa pengetahuan
juga bisa diperoleh melalui wahyu. Pengetahuan yang diwahyukan itu pasti
mutlak, tidak dapat disangsikan lagi dan abadi. Oleh sebab itu maka,
masalah-masalah yang sifatnya metafisis tidak dapat dibahas atau
diper-debatkan. Akal terlalu lemah untuk memahami masalah-masalah itu
karena dalamnya misterius dan transcendental.
Kriteria
Kebenaran
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.
Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena
itu, kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang
benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama
kriteria kebenarannyakarena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda.
Pengetahuan alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam
fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi
setiap jenis dari bidang pengetahuan. Problem kebenaran inilah yang memacu
tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap kebenaran
membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis
kebenaran, yaitu kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis, dan kebenaran
semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia, kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai
sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau
diadakan. Kebenaran dalam arti semantik adalah kebenaran yang terdapat serta
melekat dalam tutur kata dan bahasa
Namun,
dalam pembahasan ini dibahas kebenaran epistemologis karena kebenaran yang
lainnya secara inheren akan masuk dalam kategori kebenaran
epistemologis. Teori yang menjelaskan epistemologis adalah sebagai berikut
:
a. Teori korespondensi
Menurut teori korespondensi, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian,
kebenaran epistemologis adalah kemanunggalan antara subjek dan objek.
Pengetahuan ini dikatakan benar apabila didalam kemanunggalan yang sifatnya
intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada
didalam objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia terdapat
di dalam budi pikiran subjek itu benar
sesuai dengan apa yang ada di dalam objek. Suatu proposisi atau
pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya,
yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran itu adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan
realitas, yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian,
kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif . yaitu,
suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi.
Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta
aktual: atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi
interpretasi. Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan
sebagai berikut : Dua hal yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu
pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara
pernyatan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Sebagaimana
contoh dapat dikemukakan : «Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia ».
pernyataan ini disebut benar karena kenyataannya Jakarta memang Ibukota
Republik Indonesia. Kebenarannya terletak pada hubungan antara pernyataan dengan
kenyataan. Adapun jika dikatakan Bandung adalah ibukota Republik Indonesia,
pernyataan itu salah karena tidak sesuai antara pernyataan dengan
kenyataan. Suatu proposisi itu cendrung untuk benar jika proposisi itu
saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti
yang dikandung oleh proposisi yang saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Kepastian mengenai kebenaran sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian,
dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya, sehingga disebut
pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian
yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang
tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan
dalam pembicaraan umum, dimana hal itu diartikan sebagai kepastian yang yang
didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan atau dianggap
salah.
b. Teori pragmatisme Tentang kebenaran
Teori selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme
berasal dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh Wiliam James di Amerika Serikat. Menurut
filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan
manfaat.
Menurut
teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat
yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai
praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh
akibat-akibat praktisnya. Jadi
kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
c. Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara
untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalaan
asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun
tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan
akal, budi, rasio, dan reason manusia,
dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari
Tuhan. Suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama
atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Oleh karena itu, sangat wajar
ketika Imam al-Ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemuan akalnya dalam
mencari suatu kebenaran. Akhirnya al-Ghazali sampai pada kebenaran yang
kemudian dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang panjang. Tasawuf lah
yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama
inilah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai kebenaran multak; yaitu kebenaran
yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi. Namun al-Ghazali tetap merasa
kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya kebenaran yang didapat
adalah kebenaran sujektif atau inter-subjektif
Referensi :
A, Qadir C. 2002. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta :
Pustaka Obor Indonesia.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bakhtiar, Amsal. 2006
Filsafat Ilmu, cet. I. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Suriasumantri, Jujun
S. 2009 Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, cet. XVI. Jakarta : Sinar Harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar