Benteng Pendem Cilacap (Belanda: Kustbatterij op de Landtong te Cilacap), dibangun 1861,
adalah benteng peninggalan Belanda di pesisir pantai Telukpenyu, Cilacap,
Jawa Tengah. Bangunan ini merupakan bekas markas pertahanan tentara Hindia
Belanda yang dibangun di area seluas 6,5 hektar secara bertahap selama 18
tahun, dari tahun 1861 – 1879. Benteng pendem sempat tertutup tanah pesisir
pantai dan tidak terurus. Benteng ini kemudian ditemukan dan mulai digali
pemerintah Cilacap tahun 1986 (sumber : wikipedia)
Benteng ini berada di kawasan lahan milik Pertamina, total luasnya 10,5 Ha.
Lahan yang digunakan Pertamina sekitar 4 Ha. Secara umum, kawasan benteng yang
telah dieksplorasi baru sekitar 60%. Untuk masuk ke dalam Benteng, pengunjung
yang masuk ke kawasan wisata Teluk Penyu harus membayar tiket 4000 per orang,
sedangkan tiket kendaraan sebesar 5000. Dengan mengikuti petunjuk arah,
belok ke kanan sekitar 200 m kita bisa menemukan Benteng yang dimaksud.
Letaknya di sisi kanan jalan dari arah belokan tadi *bingung kan nulis apaan
sih?*. Tenang saja, mudah kok mencarinya karena sisi sebelahnya adalah laut
selatan.
Di pintu masuk pengunjung dikenai HTM sebesar 4000 rupiah per orang. Kami
setuju ditemani pemandu, karena memang lebih nyaman dan jelas. Saya mengemban
‘tugas negara’ untuk membuat catatan perjalanan yang berguna bagi nusa dan
bangsa *hiperbola*. Bukan sekedar jalan-jalan atau mojok seperti abg yang
ditemui di sana.
Masuk ke dalam Benteng kami dipandu melewati lingkaran parit. Konon pada
jaman dahulu lebar parit sekitar 18 m dengan kedalaman 3 m. Saat ini lebar
paritnya hanya 5 m dengan kedalaman 1-2 m. Fungsi parit yang utama adalah
melindungi benteng, menghambat laju musuh, patroli keliling menggunakan perahu
kecil, dan tempat pembuangan air dari terowongan. Pada saat melewati parit
inilah, tiba-tiba saya diserbu perasaan dingin dan bulu kuduk langsung berdiri
*masih tahap berkenalan rupanya*.
Masih ada beberapa tempat yang sedikit dilewati yaitu bangunan-bangunan
peninggalan Jepang dan makam tua di bawah pohon trembesi. Makam tersebut konon
adalah milik Sekar Wulung dan Ibu Nyai Sekar Jagad yang merupakan tokoh
penyebar agama Islam bercampur Kejawen.
Sebenarnya saya masih semangat untuk bertanya ini itu pada bapak pemandu
atau bahkan sekaligus menyebrang ke Nusakambangan, namun dua orang teman
saya sudah menunjukkan muka ingin buru-buru hengkang. Impian ke Nusakambangan
itupun agaknya harus dilupakan mengingat kami harus segera kembali mengambil
peralatan di lapangan. Padahal menyebrang ke sana hanya membutuhkan waktu 15
menit dan membayar 15 ribu PP per orang. Selain masih ada benteng lainnya, di
sebelah barat pulau itu terdapat pantai pasir putih yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar