Apa yang terbayang di
benak Anda ketika mendengar nama “Banten”? Barangkali, serangkaian kesan mistik
akan segera mengemuka: santet, pelet, debus, golok, dan semacamnya. Hal ini
mungkin sudah tidak perlu diperdebatkan karena Banten memang dikenal sebagai
The Magic City. Lalu, apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama
“Jawara”? Apakah istilah tersebut mampu menggiring Anda pada para pendekar
berpakaian serba hitam dengan golok terselip di pinggang layaknya di film-film
laga kolosal?
“Tampilan fisik jawara,
dulu memakai baju (kampret) dan celana panjang longgar berwarna hitam, ikat
kepala (romal) atau topi hitam, goo terselip di pinggang, serta selendang
sarung gebeng. Busana tersebut dimaksudkan untuk memudahkan (melincahkan) gerak
sebagai pemberani,” kata Prof. Dr. HMA. Tihami.
Itu tampilan fisik, lalu
bagaimana dengan perangai? Jawara dikenal sebagai orang atau kelompok orang
yang memiliki keberanian tingkat tinggi, berbicara sompral dan meledak-ledak,
serta mengandalkan kekuatan ototnya. Tentu saja ini bukanlah sesuatu yang
tiba-tiba. Kira-kira di abad ke-19 sampai abad ke-20, jawara juga ulama demikian
intens menggerakan rakyat untuk melawan melawan otoritas kolonial Belanda. Hal
ini jugalah yang membuat daerah di ujung pulau Jawa ini terkenal sebagai daerah
pemberontak dan penganut Islam ortodoks.
Pada 1895, pemberontakan
pertama kaum jawara meletus, dipimpin oleh Haji Wakhia. Kemudian pemberontakan
petani yang dipimpin Haji Wasid pada 1888. Pemberontakan 1926 dimotori jawara
yang berafiliasi ke PKI, juga revolusi sosial yang dikobarkan rakyat Banten
pada 1945-1946 (Suharto:1996). Itu dalam skala nasional, akan lebih panjang
daftar pemberontakan yang domotori jawara jika ditambah peristiwa lokal.
Seperti pemberontakan dari Mas Jakaria (1811), Mas Hajji dan Mas Rakka
(1818-1819), Mas Raye (1827), Nyi Gumparo (1836), sampai pada pemberontakan
yang dipimpin Ratu Bagus Ali dan Mas Jabeng yang gagal (1839).
Lalu apakah memang
jawara hanya memiliki peran sebagai pemberontak? Jika dilacak ke akar
sejarahnya yang lain, ternyata jawara memiliki peran sosial yang diembannya.
Dalam penelitian bertajuk “Relasi antara Jawara dan Ulama” yang dilakukan
Muhammad Hudaeri, sedikitnya jawara memiliki lima peran social, di antaranya
sebagai jaro, guru silat, guru ilmu batin (magis), sebagai pemain debus,
dan sebagai tentara wakaf atau khodim kiyai.
Sebagai seorang jaro, jawara memiliki
tugas memimpin satu kejaroan (kelurahan). Sebutan jaro ini tak lain adalah
seorang kepala desa. Pada masa kesultanan Banten, jaro diangkat oleh Sultan
dengan tugas utama mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti
serta mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. Dalam pekerjaannya, sehari-hari
jaro dibantu oleh beberapa pejabat seperti carik (sekretaris jaro), jagakersa
(bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan
pajak), merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan masjid).
Selain sebagai jaro,
jawara juga dikenal sebagai guru silat. Dalam Serat Chentini, ada keterangan
yang menyebutkan bahwa pada masa pra-Islam, di daerah dekat Gunung Karang
(Kabupaten Pandeglang) telah dikenal istilah paguron atau padepokan. Masyarakat
Banten mengenal banyak paguron seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, dan
lain-lain. Tiap peguron memiliki gerakan jurus-jurus dengan karakter yang
berbeda, pun dengan akar sejarah dan filosofinya. Di peguron inilah, jawara
mengajarkan ilmu bela diri.
Selain ilmu silat yang
bersifat fisik, jawara juga memiliki peran social sebagai guru ilmu batin
(magis). Jawara yang terkenal biasanya memiliki kemampuan ilmu batin, selain
ilmu bela diri yang bersifat fisik. Ilmu batin tersebut yakni kemampuan untuk
memanipulasi kekuatan supranatural, seperti kebal dari senjata tajam, tahan dari
api, bisa mengusir jin, dan sebagainya. Dalam memperoleh ilmu kebatinan ini,
diperlukan ritual khusus yakni bertapa. Aktivitas bertapa ini sudah dikenal dan
dilakukan sejak Islam belum masuk ke Banten.
Satu lagi yang terkenal
di Banten, yakni debus. Debus ini dilakukan oleh jawara. Debus adalah permainan
yang cukup berbahaya dan mampu memerindingkan bulu kuduk orang yang biasa.
Permainan debus hanya boleh dimainkan oleh jawara yang punya kemampuan di atas
rata-rata. Karena jika jawara biasa, maka akan mendatangkan balai. Debus juga
memiliki macam-macam tingkatan. Ada debus al-madad, debus surosowan, dan debus
langitan. Debus al madad merupakan debus yang paling tinggi tingkatannya dan
paling sulit. Konon, pemimpin permainan (disebut khalifah) harus melakukan
“amalan” yang sangat panjang dan berat. Al madad artinya meminta bantuan atau
pertolongan. Karena setiap kali melakukan permainan debus ini, pemainnya selalu
mengucapkan kata-kata ‘al madad’ yang menggambarkan bahwa permainan tersebut
terjadi atas pertolongan Allah Swt. Debus surosowan merupakan permainan yang
tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Debus ini biasa dimainkan oleh para
remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana kesultanan Banten. Debus
ini biasanya dipertunjukan di dalam istana sebagai hiburan, bukan untuk
mendapatkan kesaktian. Sementara itu, debus langitan adalah pertunjukan yang
melibatkan anak-anak dan remaja yang menjadi objek sasaran benda-benda tajam.
Dalam permainan ini, anak-anak dan remaja yang menjadi objek senjata tajam
tidak akan merasa sakit atau menderita luka-luka. Debus langitan ini ditujukan
sebagai permainan belaka.
Terakhir, jawara
memiliki peran sebagai tentara wakaf dan khodim kiyai. Mereka biasanya berperan
sebagai tenaga keamanan dalam acara-acara besar suatu organisasi atau Parpol.
Pada masa orde baru, “tentara wakaf” ini dijadikan alat oleh partai penguasa
sebagai satuan pengamanan di Banten. Beberapa jawara bahkan menjadi pengurus
papol tersebut. Akan tetapi, perubahan politik sejak terbukanya pintu reformasi
telah mengubah paradigm para jawara. Mereka tampaknya ingin lebih netral dan
tidak berafiliasi ke parpol tertentu.
Jawara yang sebenarnya
adalah “khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga
yang tidak setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran
sebagai “khodim kyai” maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai,
yakni: membela kebenaran, berpihak kepada masyarakat yang lemah, berperilaku
santun dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang
ideal itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan
kehidupan yang materialistik.
Lalu, di zaman modern
seperti saat ini, di manakah kita bisa menemukan jawara?
“Jawara itu bagian dari masyarakat. Namun
sekarang lebih dominan yang ngajawara,” kata sejarawan Bonnie Triyana.
Pernyataan Bonnie Triyana ini diperkuat
oleh Prof. Tihami dalam pengantarnya di buku Golok dan Tasbih karya Muhammad
Hudaeri (Biro Humas Setda Provinis Banten, Oktober 2005), bahwa seiring
perkembangan social, jawara telah tumbuh menjadi subkultur yang dominan. Waktu
pemerintahan kolonial, jawara dicap sebagai biang keonaran. Masyarakat pun
mencap mereka dengan citra negative, sombong, kurang taat beribadah, dan lebih
mengedepankan kekerasan untuk kepentingan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar