Pada
prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengharagai
perbedaan. Sehingga nantinya perbedaan tersebut tidak menjadi sumber konflik
dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah yang nantinya akan menjadikan
keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang
patut untuk dilestarikan.
Dalam
pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada dalam
posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau
dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain, dialog meniscayakan
adanya persamaan dan kesamaan diantara pihak-pihak yang terlibat, anggapan
bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain akan
melahirkan fasisme, nativisme dan chauvinism, dengan dialog, diharapkan terjadi
sumbang pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau
peradaban yang bersangkutan sehingga nantinya terwujud masyarakat yang makmur,
adil, sejahtera yang saling menghargai perbedaan.
Sejarah Pendidikan Multikultural
Dalam
sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak
muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan
intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada
awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi
manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak
lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada
gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain
yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa
perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an.
Di antara
lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras
pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,
suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam
menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh
para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan
kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap
sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Secara
generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan
tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang
berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan
penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa
agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam
menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik
serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga
dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang
berjalan untuk kebaikan bersama.
Beberapa
aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam
struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi,
termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga,
harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup
pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi
anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak
agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Refleksi Tentang Pendidikan
Multikultural
Pendidikan
merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia, karena
dengan pendidikan manusia membentuk kepribadian yang berkualitas. Pendidikan
tidak hanya bisa dilakukan didalam lembaga pendidikan (sekolah) namun
pendidikan juga bisa dilakukan diluar sekolah dan tanpa batas waktu atau
berlangsung seumur hidup.
Berbagai
masalah yang timbul di negara kita, Indonesia, banyak dikarenakan adanya
ketidakberagaman budaya yang memang pada dasarnya Indonesia adalah negara yang
tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya meliputi ras, suku, agama,
status sosial, mata pencaharian dan lain-lain. Berbagai masalah yang timbul
itulah yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui
titik terang atau jalan keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya.
Pengertian Pendidikan Multikultural
Multikultural
berasal dari dua kata yaitu Multi dan Kultul, multi artinya banyak dan kultul
artinya budaya.
Menurut para
ahli
- Gibson(1984) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu proses pendidikan yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki.
- Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya adalah pendidikan yang bersifat anti rasis, yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia, yang penting bagi semua murid, yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan, mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan social, yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
- Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur). Secara lebih singkat Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keragaman budaya. Menurut James. A. Banks pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup pengalaman sosial identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
- Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Pendidikan Multikulturalis adalah pendidikan yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural.
- Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan demi secara keseluruhan.
- Sedangkan Musa Asy’ari juga menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan dan mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara. Multikultural adalah berbagai macam status social budaya
meliputi latar belakang, tempat, agama, ras, suku dll.
Jadi pendidikan
multikultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian didalam dan
diluar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial, ras,
suku, agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi
masalah-masalah keberagaman budaya.
Untuk membentuk warga negara yang
berpendidikan multikultural tidaklah mudah, banyak tahap dan prosedur yang
harus dilaksanakan dalam membentuk masyarakat yang berpendidikan
multikultural Indonesia, antara lain:
1. Menyiapkan materi atau kurikulum pelajaran yang
mengagungkan perbedaan budaya.
2. Menyiapkan kurikulum yang mempelajari tentang budaya
suku lain mulai dari tari tradisional, sastra, hasil kerajinan suku lain di
Indonesia dan lain-lain.
3. Menyiapkan kurikulum yang tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan
bangsa.
4. Menyiapkan materi yang berasaskan nilai moral
untuk menanamkan sikap menghargai orang, budaya, agama dan keyakinan lain.
5. Membangun monumen maupun museum disetiap daerah
untuk dijadikan penelitian budaya daerah tersebut dan dapat dijadikan tambahan
bahan acuan materi pelajaran
6. Membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk
memproduksi hasil kerajinan tangan yang menjadi ciri khas budaya daerah.
7. Pemerataan pendidikan multikultural untuk sekolah
baik dari lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta bahkan untuk
sekolah-sekolah internasional yang mempunyai kurikulum sendiri yang mengacu
pada kurikulum negara lain.
8. Pemerataan pendidikan multikultural bagi
seluruh lapisan masyarakat tanpa meliat status sosialnya.
9. Mengembangkan potensi peserta didik untuk
mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan sosial budaya dengan kemajuan IPTEK.
10.
Mempercepat
proses hak paten semua hasil kebudayaan agar tidak diklain negara lain dan
sebagainya.
11.
Pendidikan
multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan
pandangan dan perspektif banyak orang.
12.
Pendidikan
multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal
terhadap kebenaran sejarah.
13.
Kurikulum
dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang
kebudayaan yang berbeda-beda.
14.
Pendidikan
multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas
pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
15.
Pendidikan
multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan
perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan
budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Hal-hal
seperti diatas tidak lepas dari campur tangan pemerintah RI agar dapat berjalan
lancar dan membawa hasil positif dan dapat membawa dampak yang baik (kemajuan)
bagi bangsa.
Pengembangan Pendidikan Islam Berbasis
Multikultural
Pengembangan pendidikan Islam, dalam
arti i’adah, ibanah dan ihya dengan maksud reaktualisasi, revitalisasi,
refungsionalisasi dan reevektifity sesungguhnya telah lama dirintis dan diupayakan oleh banyak pihak. Berbagai model
pengembangannyapun telah banyak digagas, namun berbagai ikhtiyar tersebut hingga kini belum sepenuhnya
mencapai tujuan sebagaimana diharapkan. Pada ranah empiris, implementasi
pendidikan Islam baik di sekolah maupun di perguruan tinggi belum banyak
memberikan implikasi signifikan terhadap perubahan prilaku peserta didik,
padahal salah satu tujuan utama pendidikan Islam adalah terjadinya
perubahan baik pola fikir (Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way
of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pada peserta
didik.
Tingginya angka dekadensi moral dan prilaku tercela seperti free seks,
miras, narkoba, kekerasan, tawuran, eksklusifisme, kurangnya toleransi dan
penghargaan terhadap orang lain dalam segala bentuknya yang melibatkan siswa dan mahasiswa merupakan indikator nyata dari belum
efektifnya fungsi pendidikan Islam yang selama ini dijalankan. Maka
tak heran jika pada akhirnya banyak orang mempertanyakan sejauhmana efektifitas
pendidikan Islam bagi peningkatan kesadaran dan perubahan prilaku peserta didik
baik secara individual maupun sosial kultural. Pertanyaan ini wajar mengingat
secara teoritis, pendidikan diyakini sebagai sistem rekayasa
sosial yang paling berpengaruh mewarnai, mengontrol dan membentuk pola fikir dan prilaku seseorang dalam
hidup kesehariannya.
Diantara model
pengembangan pendidikan Islam yang telah dirintis oleh sejumlah pakar adalah
model pengembangan berbasis multikultural, yakni sebuah model pengembangan yang
fokus pada pentingnya penghormatan terhadap
keragaman dan pengakuan kesederajatan paedagogis terhadap semua orang (equal
for all) yang memiliki hak yang sama untuk
memperoleh layanan pendidikan, serta penghapusan
berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan
masyarakat yang adil sehingga terwujud suasana toleran, demokratis, humanis, inklusif, tentram dan
sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun etnik, status sosial, agama dan
jenis kelaminnya. Pendidikan Islam berbasis multikultural adalah proses penanaman sejumlah nilai islami yang relevan agar peserta didik dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola
kemajemukan menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa
mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya
Model ini dianggap relevan dengan ajaran Islam dan entitas keberadaan
masyarakat Indonesia yang multikultur. Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah
seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan
(unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan,
dan agama, hal ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah:
Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan
perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu… Dengan
demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia
adalah manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan
keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan
pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality)
dan sama martabatnya (dignity). Bahkan jauh sebelum adanya istilah
multikultural ini, secara konseptual dan realitas sejarah, Islam adalah agama yang terbukti
berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah, Baghdad, Palestina,
Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad saw memelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama di dunia. Di Palestina,
Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan
kebebasan beragama dalam perspektif Islam di Kota Jerusalem, tahun 636 M.
Disisi lain, Indonesia
merupakan salah satu negara dengan potensi multikultural terbesar di dunia,
menyadari hal itu, guna merekatkan keragaman yang ada, sekaligus
menghindari deviding factor dari berbagai keragaman tersebut, para
pendiri bangsa perlu mengadaptasi dan menetapkan konsep Bhinneka Tunggal Ika
Tan Hana Dharma Mangruwa yang terdapat dalam buku Sotasoma karya Empu Tantular
sebagai paradigma dan cara berprilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari konteks ini maka pendidikan Islam diharapkan dapat menjadi salah
satu pilar penyangga bagi kerukunan umat yang beraneka ragam (uniting factor),
sehingga tidak saja berfungsi sebagai fondasi integritas nasional yang kokoh
tetapi juga menjadi fondasi pengayom keberagaman yang hakiki.
Multikulturalisme
sejatinya bukan wacana baru, ia telah muncul pasca perang dunia II dan semakin
mendapat respon dari masyarakat terutama di negara-negara yang menganut konsep
demokratis termasuk Indonesia tatkala terjadi berbagai bentuk ketidak adilan
dan diskriminasi atas sejumlah masyarakat baik secara individual maupun
institusional, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan bahkan
agama. Di barat, gerakan multikultural awalnya
dipelopori oleh John Stuart (asal Prancis), dan dilanjutkan oleh Charles Taylor
(asal Kanada) tatkala lembaga pendidikan mendapat sorotan tajam karena telah
gagal menghargai identitas budaya dari warga negaranya. Sistem dan lembaga
pendidikan kemudian dituntut untuk melakukan rekonstruksi konsep yang
sebelumnya sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah demokratik
transparan berbasis partisipatoris, dari sinilah pendidikan multikultural mulai
berkembang pesat.
Di
tanah air, perkembangan pendidikan multikultural tidak dapat dilepaskan
dari peran penting Ki Hajar Dewantoro, dalam salah satu tulisannya, beliau menyebutkan bahwa tidak ada warga
negara yang kelas satu atau kelas dua, semuanya mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dalam pendidikan. Mereka memiliki kebebasan untuk berekspresi serta
bebas dalam menetukan dalam pendidikan. Karena itu dinyatakan
dengan tegas bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari
aspek keragaman suku (etnis), ras, agama dan budaya yang dikemas melalui
kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala perbedaan demi
terciptanya tatanan masyarakat demokratis, pluralis, humanis dan inklusif.
Masalah krusial
yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah lemahnya rasa kebangsaan,
persatuan dan kebersamaan di sementara kalangan, kasus-kasus masa lalu dan masa
kini yang berkisar pada konflik etnis, agama, kewilayahan dan politik vertikal
horizontal merupakan contoh nyata gejala yang memprihatinkan ini, karena
itu diperlukan upaya sistematik untuk membangun kesadaran pluralistik dan
multikulturalistik pada seluruh lapisan masyarakat. Sangat mendesak
“membumikan” pendidikan Islam berwawasan multikultural, sebab kesadaran akan
pentingnya kemajemukan dan multikulturalisme diharapkan dapat menjadi perekat
baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.
Kesadaran diatas pada gilirannya akan
menghantarkan masyarakat pada tahap kedewasaan sikap yang dengan lapang
dada menerima keanekaragaman sebagai sunnatullah. Keterbukaan kepada yang lain
(an openees towards the other) pada gilirannya selain memberi arahan
untuk membangun suatu sikap, etos dan pandangan dunia yang egaliter guna
membentuk horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling menghargai
keberadaan yang lain, juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan
keselamatan dan kebahagiaan sejati.
Terdapat ragam
redaksi tentang definisi pendidikan multikultural, tetapi intinya bahwa
pendidikan multikultural adalah pendidikan yang melatih dan membangun
karakter peserta didik agar memiliki sikap demokratis, humanis, dan pluralis
serta berpandangan positif dan apresiatif menyikapi perbedaan-perbedaan kultur menyangkut etnis, agama, bahasa, gender, ras,
kelas sosial, usia, dan sebagainya menjadi sesuatu yang lebih potensial di
masyarakat sehingga terjadi pengurangan atau penghapusan berbagai
bentuk diskriminasi dan prejudis demi membangun kehidupan masyarakat yang
adil dan tenteram.
Pendidikan multikultural sejatinya
merupakan wacana lintas batas, sebab ia terkait erat dengan
masalah-masalah keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia. Minimal
terdapat tiga nilai yang menjadi dasar pendidikan multikultural yakni :
Apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat,
Pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia, dan
Pengembangan masyarakat dunia yang adil dan egaliter. Tujuan utamanya
adalah untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, serta
bagaimana perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah (sunnatullah),
dan tidak menimbulkan tindak diskriminasi yang termanifestasi pada pola sikap
iri, buruk sangka dengki dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan Islam
berwawasan multikultural dapat diterapkan melalui : orientasi muatan kurikulum
dan orientasi reformasi unit pendidikan. Pada orientasi muatan kurikulum,
dapat dimasukkan materi-materi tentang : (1) keragaman (agama, etnik dan kultur
masyarakat), (2) harmoni kehidupan bersama, (3) toleransi, ko-eksistensi,
pro-eksistensi, (4) kerjasama, saling menghargai dan memahami. sebagai bahan
ajar yang dapat mencairkan kebekuan pemikiran (state of mind) peserta
didik dalam merespons keanekaragaman. Sedangkan pada orientasi reformasi
unit pendidikan, setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang
di dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga
semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai
orang lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit
oleh seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Diantara prinsip pendidikan Islam
berbasis multikultural, adalah prinsip humanitas, unitas dan kontekstualitas
yang meliputi : penanaman kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam
keragaman dan perbedaan kultur serta agama yang ada, penanaman semangat relasi
antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya,
saling memahami, menghargai perbedaan dan keunikan agama-agama, serta menerima
perbedaan-perbedaan dengan pikiran terbuka demi terciptanya perdamaian dan
kedamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar