Islam dan
Tradisi di Indonesia Sekarang
Dunia
kontemporer Islam atau dunia pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk
menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Islam
telah ada di Indonesia sejak adanya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu
di Aceh yang dikenal dengan kerajaan Samudera Pasai. Meskipun Islam telah lama
kita ketahui dan anut, tetapi pengamalan agamanya masih sinkretik,yaitu masih
bercampur dengan budaya lokal. Muhammad Abduh,salah seorang pembahru dari
Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya mengemukakan ide-ide
pembaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang terdapat dalam
ajaran Islam, kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu
ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sifat dualism (dalam
bidang pendidikan).
Sementara
itu Sayid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, dalam Abuddin
Nata (378-380) berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu percaya bahwa
hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Al-Quran tidak bertentangan, karena
keduanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan
paham ijtihad.
Yang
menjadi persoalan adalah apakah budaya yang dilakukan oleh para pendahulu kita
sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya atau tidak, seperti budaya slametan
yang berhubungan dengan kelahiran, contoh: tingkeban, brokokan, pasaran,
pitonan, telonan, selapanan, dan taunan (Cliford Geerta dalam Atang dan
Mubarok, 2010: 190).
Selain
itu masih banyak lagi budaya yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yang
faktanya hingga sekarang masih terdapat masyarakat Islam yang mengamalkan
budaya tersebut. Meskipun zaman sudah modern,tetapi sebagian dari mereka enggan
melepaskan budaya leluhur mereka. Karena mereka menganggap bahwa budaya itu
harus tetap dilestarikan, meskipun banyak lembaga yang tidak sepakat dengan
pengamalan budaya tersebut. Contoh: Muhammadiyah dan Persis, yang berusaha melakukan
pembaruan dengan melepaskan umat dari pengaruh-pengaruh non-Islam, akan tetapi
gerakan ini mendapat tantangan dari kalangan Nahdliyyin yang tetap pada
pendiriannya dalam melestarikan kebudayaan leluhur mereka (Atang dan Mubarok,
2010: 191).
Kategorisasinya
yang banyak di kritik banyak penelitian sesudahnya adalah priyayi,santri,dan
abangan.Kategorisasi tersebut di pandang “ keliru “ karena patokan (ugeran)
yang di gunakan di nilai tidak konsisten.Priyayi tidaklah sama dengan kategori
santri dan abangan.Priyayi adalah kelas sosial yang lawannya adalah wong cilik
atau proletar.Oleh karena itu,baik dalam golongan santri maupun dalam golongan
abangan terdapat priyayi (elite) maupun wong cilik.Kritik tersebut ,antara lain
di kemukakan oleh Zaini Muchtarom dalam karyanya,santridan abangan di Jawa
(1988).
Paling
tidak,di Indonesia terdapat dua penelitian yang di lakukan secara mendalam yang menjelaskan hubungan tradisi lokal
dengan islam.Pertama,penelitian yang di lakukan Clifford Geertz di Mojokuto
yang hasil penelitiannya pertama kali di terbitkan di Amerika pada tahun
1960.Kedua,penelitian yang di lakukan oleh Howard M. Federspiel tentang
persatuaan islam (PERSIS) yang di terbitkan di New York pada (1970).Buku yang
kedua ni telah di alih bahasakan kedalam bahasa Indonesia oleh Yudian W.Asmin
dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam : pembaharuan islam di
indonesia abad XX (1996).
Sebenarnya
Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk melakukan aqiqah, jika lahirnya
anak dari pernikahan suami dan istri, dan itu pun hukumnya sunnah, dilaksanakan
ketika bayi berusia tujuh hari dari kelahirannya, untuk bayi laki-laki
aqiqahnya menyembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi perempuan
aqiqahnya dengan menyembelih seekor saja. Tapi yang menjadi pertanyaan mengapa
para pendahulu kita mengadakan budaya slametan kelahiran anak yang begitu
banyak sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Padahal Nabi SAW
menganjurakan hanya satu kali slametan, yaitu aqiqah. Terlihatlah bahwa Islam
menganugerahkan kemudahan pada penganutnya.
Akan
tetapi kebudayaan leluhur tersebut bisa dilestarikan, apabila forumnya
bertujuan untuk shodaqoh dan bukan atas dasr kepercayaan pada hal-hal yang
mistis, misalkan: “wah jika tidak melakukan tingkeban, brokokan, pasaran, dan
pitonan nanti sang bayi akan diganggu oleh lelembut niiiih”. Yang akhirnya
memaksa untuk menerapkan budaya itu meskipun keadaan ekonomi keluarga itu
minimum. Padahal amalan yang terbaik ketika hamil adalah sholat, membaca dan
mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran pun sudah cukup. Jika dikaji lebih
mendalam, Al-Quran sangat berpengaruh besar dalam perkembangan janin.
Dengan
adanya pertikaian amalan budaya ini, maka lahirlah dua kaum, yaitu kaum tua
yang cenderung statis, tidak mau mengalami perubahan dalam suatu ajaran.
Menurut Howard M. Federspiel dalam Atang dan Mubarok (2010: 192-193) kaum tua
meyakini bahwa kebenaran yang dilakukan dalam ajaran-ajaran ulama besar zaman
klasik dan zaman pertengahan tidak berubah, sehingga kebenarannya tidak perlu
dikaji ulang, mereka menuduh bahwa orang-orang yang menentang mereka adalah
orang kafir dan terkutuk, dan mereka yang tertuduh adalah kaum muda. Jadi sudah
jelas bahwa kaum muda adalah kaum yang mendukung perubahan radikal dalam
pemikiran dan praktik di nusantara.
Meskipun
sekarang ini sedang memasuki zaman teknik (modern) dan tidak lama lagi akan
memasuki milenium ketiga ,keberagaman kita tidak sepenuhnya dapat lepas dari
pengaruh sinkretik yang di wariskan oleh para pendahulu kita.Secara kelembagaan
,Muhamadiyyah dan Persis berusaha melakukan pembaruan dengan melepaskan umat
dari pengaruh-pengaruh non-islam.Akan tetapi,gerakan ini mendapat tantangan
dari kalangan nahdliyin (NU) yang cenderung mentolelir dan melestarikan
kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Dalam
merespons tradisi yang berkembang di masyarakat,secara umum,umat islam di
bedakan menjadi dua :
1.Kaum
Tua
2.Kaum
Muda
Kaum
muda adalah ulama pendukung perubahan-perubahan radikal dalam pemikiran dan
praktik keagamaan di Nusantara,sedangkan Kaum Tua adalah ulama yang menentang
perubahan-perubahan yang di kembangkan Kaum Muda dan mempertahankan sistem
keagamaan di indonesia yang di nilai telah mapan.
Kaum
tua meyakini bahwa kebenaran yang di kemukakan dalam ajaran-ajaran ulama
besar zaman klasik dan zaman
pertengahan,seperti al-ghazali,al-Asy’ari,dan al-Maturidi dalam bidang
teologi,dan imam-imam dari mazhab-mazhab besar dalam bidang hukum islam tidak
berubah.Bagi kaum tua kebenaran tidak perlu di kaji ulang,sebab kebenaran tidak
pernah di ubah karena perubahan waktu dan kondisi (HOWARD M.Federspiel,1996 :
60). Kaum Tua menegaskan bahwa agama di pelajari melalui hafalan-hafalan di
pondok pesantren,ia tidak bisa salah dan tidak boleh di tundukan oleh
penelitian akal.
Sedangkan
kaum muda bersikap sebaliknya,mereka menentang keras praktik-praktik
tasawuf,ketaatan,kepada mazhab-mazhab teologi
dan hukum islam,upacara ritual yang tidak otoritatif,dan do’a yang di
maksudkan untuk mengantarkan roh yang baru meninggal dunia .
Reaksi
Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi
Di
zaman globalisasi dan modern saat ini, bangsa Indonesia belum menjadi bangsa
yang maju melainkan masih berstatus bangsa berkembang, dan ternyata mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam. Umat Islam pada zaman dahulu mengalami
kejayaan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bahkan
mengerajai pengetahuan seluruh dunia, termasuk Amerika dan Jepang, yang amat
maju di bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuannya di zaman sekarang ini.
Sungguh umat Islam sekarang sudah tidak peduli dan merasa puas dengan kejayaan
yang pernah diraih oleh umat Islam terdahulu, seharusnya kita rebut kembali
kejayaan iptek itu, bukan hanya menggunakan tetapi harus bisa menciptakan. Di
Jepang, seorang murid SD sudah bisa merakit komputer, sedangkan kita
hanya user computer saja, bahkan ada sebagian yang belum mampu
mengoperasikannya,karena rendah dalam penguasaan dan perkembangan sains dan
teknologi,umat islam menjadi kelompok yang terbelakang.Mereka hampir di
identikkan dengan kebodohan.
Sedangkan
di sisi lain,umat agama lain begitu maju dengan berbagai teknologi,dari
teknologi pengamatan terhadap luar angkasa sehingga teknologi pertanian.Secara
umum,reaksi tersebut dapat di bedakan menjadi empat,yaitu :
1) Tradisionalis
Pemikiran
tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat islam adalah ketentuan dan rencana
tuhan. Sebagai makhluk, kita dapat tidak mengetahui gambaran besar
tentang skenario tuhan, dari perjalanan panjang umat manusia. (Mansour Fakih
dalam Ulumul Qur’an, 1997: 11).Akar teologis pemikiran tradisionalis bersandar
pada aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah,terutama aliran asy’ariyah,yang juga
merujuk pada aliran jabbariyah mengenai predeterminisme (takdir),yakni bahwa
manusia harus menerima ketentuan dan rencana tuhan yang telah di bentuk
sebelumnya.
Cara
berfikir tradisionalis tidak hanya dapat di kalangan muslim di pedesaan yang di
identikkan dengan NU,tapi sesungguhnya pemikiran tradisionalis terdapat di
berbagai organisasi dan berbagai tempat.
2) Modernis
Dalam
masyarakat barat,modernis mengandung arti pikiran,aliran,gerakkan,dan usaha
untuk mengubah paham-paham dan institusi-institusi lama untuk di sesuaikan
dengan suasana baru yang di timbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Harun Nasution,1991 :11).Oleh
karena itu,modern (modernis,pelaku) lebih mengacu pada dorongan untuk melakukan
perubahan karena paham-paham dan institusi-institusi lama di nilai “tidak
relevan”.Kaum modernis percaya bahwa keterbelakangan umat islam lebih banyak di
sebabkan oleh kesalahan sikap mental,budaya,atau teologi mereka.Pandangan kaum
modernis merujuk padapemikiran modernis Muktazilah ,yang cenderung bersifat
antroposentris degan doktrinnya yang sangat terkenal,yaitu ushul
al-khamsah.Bagi muktazilah,manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri.Ia
hidup tidak dalam keterpaksaan (jabbar).Akar teologi muktazillah dalam bidang
af’al al-‘ibad (perbuatan manusia) adalah qadariyah sebagai tesis dari
jabariyah. Asumsi dasar kaum modernis adalah bahwa keterbelakangan umat islam
karena mereka melakukan sakralisasi terhadap semua bidang kehidupan.Asumsi
tersebut pada dasarnya sejalan dengan aliran developmentalisme yang beranggapan
bahwa kemunduran umat islam terjadi di indonesia karena mereka tidak mampu
berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi.
3) Revivalis-fundamentalis
Kecenderungan
umat islam ketiga dalam menghadapi globalisasi adalah revivalis.Revivalis
menjelaskan faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal) sebagai dasar
analisis tentang kemunduran umat islam.
Bagi
revivalis,umat islam terbelakang karena mereka justru menggunakan ideologi lain atau “isme” lain sebagai dasar pijakan
daripada menggunakan Al-qur’an sebagai acuan dasar.Pandangan ini berangkat dari
asumsi bahwa Al-qur’an pada dasarnya
telah menyediakan petunjuk secara komplit,jelas,dan sempurna sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara.
4)
Transformatif
Mereka
(penggagas transformatif) percaya bahwa keterbelakangan umat islam
disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan kultur.
Agenda mereka adalah melakukantransformasi terhadap hal-hal yang
mengakibatkan keterbelakangan umat islam dan melakukan perubahan-perunahan yang
dapat membawa kemajuan bagi umat islam dalam berbagai bidang. Mereka lebih
cenderung melakukan transformasi sosial. Menurut mereka agama
islam adalah agama pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasi
sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil.
Referensi:
Hakim,Atang Abd. 1999. Metodologi Studi Islam. Bandung : Rosda
Nata,Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam. Jakarta :
Rajawali Pers
https://atumaryamitaqiya.wordpress.com./1/metodologi-studi-islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar