Kamis, 12 Januari 2017

Teori Kebenaran dan Pandangan Filsuf



Pada umumnya ada beberapa teori kebenaran yaitu teori kebenaran saling berhubungan, teori kebenaran saling berkesucian, serta teori kebenaran inkerensi.
Teori kebenaran saling berhubungan, yang mendapat bahwa suatu proposisi itu benar apabila hal tersebut mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada atau benar. Dengan kata lain yaitu apabila proposisi itu mempunyai hubungan dengan proposisi yang terdahulu yang benar. Pembuktian teori kebenaran koherensi dapat melalui fakta sejarah dan logika. Sedangkan teori kebenaran saling kesucian memiliki pandangan bahwa suatu proposisi itu bernilai benar apabila proposisi itu saling berkesucian dengan kenyataan atau realitas. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan. Berbeda dengan teori kebenaran inherensi, bahwa sesuatu proposisi memiliki nilai kebenaran apabila memiliki akibat atau konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat, maksudnya ialah tersebut dapat dipergunakan.
Menurut Plato kebenaran yang utama adalah yang di luar dunia ini. Maksudnya ialah suatu kesempurnaan tidak dapat dicapai di dunia ini. Berbeda halnya dengan Aurelius Augustinus (354-430) yang menegaskan bahwa pikiran dapat mencapai kebenaran dan kepastian. Sekalipun berpikir pada dirinya ada batasnya, namun dengan berpikir orang dapat mencapai kebenaran yang tiada batasnya, yang kekal abadi. Hasil pemikiran itu diungkapkan dalam pertimbangan-pertimbangan yang bersifat abadi, yang perlu mutlak dan tidak dapat berubah. Kenyataan ini sudah selayaknya bersifat rohani bukan badani, serta menjadi sumber segala hidup dan pikiran.
Pada abad ke-17 dari paham rasionalisme, yaitu Rere Descortes (1596-1650) menegaskan bahwa yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah. Apa yang jelas dan terpilah-pilah itu tidak mungkin didapatkan dari apa yang berada di luar kita.
Pada abad ke-20 muncul paham progmalisme yang salah seorang tokohnya ialah Willian James (1842-1910), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang multak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas daripada akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak yang ada adalah kebenaran-kebenaram yaitu apa ynag benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat berubah oleh pengalaman berikutnya. Walaupun demikian, keseluruhan teori dan paham yang telah diungkapkan di atas belum cukup mengupas kebenaran yang integral.
Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar