Kamis, 12 Januari 2017

Sejarah Benteng Pendem Cilacap

Benteng Pendem Cilacap (BelandaKustbatterij op de Landtong te Cilacap), dibangun 1861, adalah benteng peninggalan Belanda di pesisir pantai Telukpenyu, Cilacap, Jawa Tengah. Bangunan ini merupakan bekas markas pertahanan tentara Hindia Belanda yang dibangun di area seluas 6,5 hektar secara bertahap selama 18 tahun, dari tahun 1861 – 1879. Benteng pendem sempat tertutup tanah pesisir pantai dan tidak terurus. Benteng ini kemudian ditemukan dan mulai digali pemerintah Cilacap tahun 1986 (sumber : wikipedia)

Benteng ini berada di kawasan lahan milik Pertamina, total luasnya 10,5 Ha. Lahan yang digunakan Pertamina sekitar 4 Ha. Secara umum, kawasan benteng yang telah dieksplorasi baru sekitar 60%. Untuk masuk ke dalam Benteng, pengunjung yang masuk ke kawasan wisata Teluk Penyu harus membayar tiket 4000 per orang, sedangkan tiket kendaraan  sebesar 5000. Dengan mengikuti petunjuk arah, belok ke kanan sekitar 200 m kita bisa menemukan Benteng yang dimaksud. Letaknya di sisi kanan jalan dari arah belokan tadi *bingung kan nulis apaan sih?*. Tenang saja, mudah kok mencarinya karena sisi sebelahnya adalah laut selatan.
Di pintu masuk pengunjung dikenai HTM sebesar 4000 rupiah per orang. Kami setuju ditemani pemandu, karena memang lebih nyaman dan jelas. Saya mengemban ‘tugas negara’ untuk membuat catatan perjalanan yang berguna bagi nusa dan bangsa *hiperbola*. Bukan sekedar jalan-jalan atau mojok seperti abg yang ditemui di sana.
Masuk ke dalam Benteng kami dipandu melewati lingkaran parit. Konon pada jaman dahulu lebar parit sekitar 18 m dengan kedalaman 3 m. Saat ini lebar paritnya hanya 5 m dengan kedalaman 1-2 m. Fungsi parit yang utama adalah melindungi benteng, menghambat laju musuh, patroli keliling menggunakan perahu kecil, dan tempat pembuangan air dari terowongan. Pada saat melewati parit inilah, tiba-tiba saya diserbu perasaan dingin dan bulu kuduk langsung berdiri *masih tahap berkenalan rupanya*.

Masih ada beberapa tempat yang sedikit dilewati yaitu bangunan-bangunan peninggalan Jepang dan makam tua di bawah pohon trembesi. Makam tersebut konon adalah milik Sekar Wulung dan Ibu Nyai Sekar Jagad yang merupakan tokoh penyebar agama Islam bercampur Kejawen.
Sebenarnya saya masih semangat untuk bertanya ini itu pada bapak pemandu atau bahkan sekaligus menyebrang ke  Nusakambangan, namun dua orang teman saya sudah menunjukkan muka ingin buru-buru hengkang. Impian ke Nusakambangan itupun agaknya harus dilupakan mengingat kami harus segera kembali mengambil peralatan di lapangan. Padahal menyebrang ke sana hanya membutuhkan waktu 15 menit dan membayar 15 ribu PP per orang. Selain masih ada benteng lainnya, di sebelah barat pulau itu terdapat pantai pasir putih yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar