Kamis, 12 Januari 2017

Filosofi Pohon Pisang

Sebatang pohon pisang tumbuh di atas tanah, ia hanyalah pohon seperti tumbuhan yang lain. Pohon ini hanya tumbuh mengikuti hukum alam ketentuan Tuhan. Sepintas ia hanyalah pohon biasa yang tak ada kelebihan yang menarik perhatian sebagaimana sekuntum bunga yang mengundang kupu-kupu yang cantik untuk hinggap menghisap sarinya. Namun, tidakkah kita perhatikan hal berikut ini?

Pohon pisang sebenarnya memiliki kehebatan yang dapat kita teladani. Pertama, pohon pisang itu dalam proses bertumbuh, jika ditebang sampai putus batangnya, maka ia akan tumbuh lagi persis dari pusat batangnya. Tak peduli berapa kali ia dibabat batangnya sampai putus sekalipun, ia tetap tumbuh dan tumbuh lagi sampai dewasa dan berbuah. Ini seharusnya memberi ilham kepada kita yang diberi akal yang cerdas sebagai manusia--makhluk yang paling sempurna--agar bisa meniru tabiat alami si pohon pisang tersebut.

Yang namanya kehidupan, pasti penuh cobaan/ujian, sering jatuh bangun, suka duka silih berganti, dan kadang gagal berkali-kali. Mengetahui fenomena ini, sudah seharusnyalah kita bisa mencontoh tabiat si pohon pisang ini. Sesering atau separah apapun kita terjatuh (baca: gagal), maka seperti si pohon pisang, kita harus bertumbuh lagi, bangkit dengan semangat yang lebih dahsyat. Tak peduli berapa kali kita ditebang oleh kegagalan lalu tumbang, maka sebanyak itu pula kita bangkit dan tumbuh lagi. Janganlah kita berhenti bertumbuh hanya karena sebuah kegagalan, tapi jadikan kegalan itu sebuah proses pemelajaran untuk meraih keberhasilan yang leibh dahsyat. Selama tubuh kita masih bernafas, selama itu pula sukses masih bisa kita raih. Seperti langit yang gelap gulita ditelan malam, pasti esok hari mentari akan bersinar lagi…, pasti!!!
Kedua, ternyata pohon pisang itu baru akan mati setelah ia berbuah, memberikan yang terbaik untuk kehidupan. Ini sungguh luar biasa…! Hal inilah yang seharusnya kita renungkan dalam-dalam. Kita sebagai manusia yang berakal dan sempurna, sudahkah kita renungkan…, apa yang sudah kita berikan untuk kehidupan ini? Apa yang sudah kita berikan untuk keluarga, lingkungan, masyarakat, bangsa, dan negara [sebelum kita meninggalkan dunia ini ?

Pohon pisang hidup untuk berbuah dan mati setelah meninggalkan manfaat. Jika kita bisa hidup seperti itu, tentu kita adalah pahlawan sejati. Namun kita sering lupa, banyak dari kita yang lupa diri dalam mengejar dunia, terlalu memikirkan diri sendiri, kesenangan dan kemakmuran diri sendiri, sampai-sampai kadang melupakan orang lain yang membutuhkan sesuatu yang bisa kita berikan. Banyak sekali orang lain di negeri kita tercinta ini yang nasibnya kurang beruntung dan membutuhkan uluran tangan kita. Bangsa ini pun merindukan bangkitnya manusia-manusia unggulan yang bisa membawa negeri ini menuju negeri yang aman, makmur, adil, dan sejahtera. Konon katanya negeri kita “gemah ripah loh jinawi”, seharusnya rakyatnya pun juga makmur berkelimpahan. Mungkin itu yang harus menjadi perjuangan kita bersama.

Dan pada kenyataannya hidup kita akan berakhir, itu adalah hal yang pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka sesuatu yang berharga yang akan dan atau telah kita berikan untuk kehidupan inilah yang bisa memberikan kenangan nan indah penuh makna bagi generasi penerus kita, bukannya apa yang kita ambil dari kehidupan ini untuk menikmati masa hidup kita yang sementara. Sebagaimana harimau mati meninggalkan belang, rusa mati meninggalkan tanduk, dan gajah mati meninggalkan gading, maka kitalah yang menentukan apa yang akan kita tinggalkan. Apakah kita ingin nama kita akan tetap hidup dengan keharumannya walau kita sudah tiada, ataukah justru sebaliknya…, pilihan ada di tangan kita!

Pohon pisang saja mati setelah berbuah, bagaimana dengan kita sebagai manusia?

Filosofi "Cermin"

Ketika berdiri dihadapan cermin, Anda bisa melihat kekurangan, membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di muka. Bisa memperbaiki penampilan Anda, memperbaiki baju, menyisir rambut, dan seterusnya. Bahkan terkadang Anda berkali-kali melihat ke cermin, hanya sekedar meyakinkan diri Anda sebelum pergi.
Tahukah Anda wahai saat saudaraku, bahwa dalam kehidupan ini, kita adalah sebuah cermin. Ya! saya, Anda, kita.

Nabi kita Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang mu’min merupakan cermin bagi saudara mu’min yang lain.” (HR. Imām Bukhari dalam kitab Adabul Mufrād dan Imam Bayhaqi dalam Syu’abul Imān, hadits hasan)

Ini adalah permisalan yang agung dan sangat menakjubkan tentang nasehat-menasehati, saling mengingatkan antara kita dengan saudara kita
Cermin. Bukan hanya sekedar memberitahukan dimana letak kekurangan, kesalahan atau kotoran yang menempel di wajah. Tetapi cermin juga menjadi tempat kita untuk memperbaiki diri.

Cermin. Saat Anda meninggalkannya, tidak pernah mengingat kembali aib, cacat atau kotoran yang ada padamu. Jika orang lain setelah anda berdiri memakai cermin itu, dia tidak akan pernah bercerita bagaimana kamu dan apa kotoranmu. Dia tidak akan bercerita “Si fulan seperti ini dan itu.” Begitu pulalah kita sebagai seorang mu’min.

Seorang mu’min, dengan tulus, tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan apa-apa akan menunjukkan kepada kita kesalahan dan kekurangan saudaranya sesama mu’min.

Lalu kita ingatkan, nasehati, dan tidak perlu menceritakan kepada muslim yang lain, cukup hanya Anda yang tahu aib-aib saudara kita.

Bercermin dengan menyendiri, tidak perlu mengingatkan seseorang dihadapan banyak orang, atau mengingatkan seseorang dengan keras dan kasar. Dia mengingatkan dengan lembut, hanya antara engkau dan cermin.

Begitu seharusnya kita memberi nasehat kepada saudara kita sesama muslim, dengan lembut, santun dan rahasia, tidak perlu orang lain tahu karena kita hanya mengharap balasan dan pahala dari Allāh ‘Azza Wa Jalla dan menginginkan agar saudara kita itu memperbaiki diri.

Mari kita menjadi cermin bagi mu’min satu dengan yang lainnya.


 Ust. Abu Zubair Hawary

CERITA MOTIVASI DARI SEORANG FILSUF SOMBONG

Filsuf Yang Sombong
Ada seorang filsuf yang menaiki sebuah perahu kecil ke suatu tempat. Karena merasa bosan dalam perahu, kemudian dia pun mencari pelaut untuk berdiskusi.
Filsuf menanyakan kepada pelaut itu: ” Apakah Anda mengerti filosofi?”
“Tidak mengerti.” Jawab pelaut.
“Wahh, sayang sekali, Anda telah kehilangan setengah dari seluruh kehidupan Anda.
Apakah Anda mengerti matematika?” Filsuf tersebut bertanya lagi.
“Tidak mengerti juga.” Jawab pelaut tersebut.
Filsuf itu, menggelengkan kepalanya seraya berkata:
“Sayang sekali, bahkan Anda tidak mengerti akan matematika.
Berarti Anda telah kehilangan lagi setengah dari kehidupan Anda.”
Tiba-tiba ada ombak besar, membuat perahu tersebut terombang-ambing. Ada beberapa tempat telah kemasukan air, Perahu tersebut akan tenggelam, filsuf tersebut ketakutan.
Seketika, pelaut pun bertanya pada filsuf: ” Tuan, apakah Anda bisa berenang?”
Filsuf dengan cepat menggelengkan kepalanya dan berkata: “Saya tidak bisa, cepat tolonglah saya.”
Pelaut menertawakannya dan berkata: “Berenang Anda tidak bisa, apa arti dari kehidupan Anda? Berarti Anda akan kehilangan seluruh kehidupan Anda.”
**CERITA SINGKAT..
(Semua orang sebenarnya memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Bangga atas prestasi itu wajar saja, tetapi jangan sampai membuat diri sendiri menjadi sombong maupun angkuh akan prestasi tersebut. Ingatlah, selalu ada yang lebih pintar dari kita. Dan kita juga masih perlu belajar dari kelebihan orang lain.)

BERFILSAFAT, HARUSKAH MELEPAS AGAMA?

Benarkah kalau mau berfilsafat yang benar harus melepaskan keagamaan kita ? Jawabannya : Tidak harus ! Mengapa ? Karena, berfikir kritis dan bisa berfilsafat secara benar juga bisa dilakukan oleh mereka yang masih beragama. Sebaliknya, tidak ada jaminan bahwa mereka yg tidak beragama atau melepaskan agama secara otomatis dapat berfikir kritis dan berfilsafat dengan benar pula. Berfilsafat, adalah lebih pada masalah kemampuan berfikir filsafat yang dimiliki oleh seseorang.
Jadi, apa masalahnya ? Pahami dulu apa yang dimaksud dengan agama oleh mereka yang menganggap agama itu tidak perlu ada dalam filsafat. Mengapa harus dipahami ? Ya, karena bisa jadi, apa yg dipahami oleh mereka tentang agama, sehingga harus dilepaskan itu adalah berbeda dengan dengan apa yang dipahami oleh orang lain, termasuk oleh mereka yang dikritisi itu. Bukankah, Tuhan sendiri menantang manusia untuk berpikir kritis dan membuat tandingan atas kata-kata Tuhan ?
Masalah filsafat, adalah bagaimana kita mampu berfikir kritis tentang banyak hal secara mendasar. Bagaimana kita mampu berfikir sesuai nalar yang logis, analitis dan sistematis yang kira-kira dapat diterima oleh para pemikir filsafat lain sebagai sesuatu yang sesuai dengan standar berfikir filsafat. Masalah berfilsafat adalah bagaimana kita mampu mengembara secara nalar untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya atas sesuatu yang kita pikirkan atau atas apa yang ada dibalik suatu pengetahuan tertentu.
Tentu saja, karena sifatnya yang kritis dan mendasar, maka berfikir filsafat haruslah siap untuk mempertanyakan segala sesuatu yang selama ini dianggap telah disepakati atau dianggap sebagai sebuah kebenaran. Kita jangan langsung percaya atas asumsi atau pengetahuan yang telah dianggap sudah umum diketahui. Justru, kita harus membongkarnya habis-habisan, kemudian melakukan kritik, menguji kesahihannya berdasarkan pijakan logika nalar manusia.
Nah, masalah berikutnya, adalah bahwa manusia hidup tidak selalu harus menjadi filsuf, sebagaimana halnya Hegel, Imanuel Kant, Bertrand Russel, Aristoteles, Plato, Socrates, Ibnu Ruysd dan lain-lain. Mengapa ? Karena, masih banyak “profesi” lain yang telah menunggu agar dunia ini menjadi seimbang. Perlu ada pemikir filsafat, perlu juga saintis, akademisi, teknisi, disainer, karyawan, buruh, pemain bola, pengurus jenazah, penyanyi, tukang gali kubur, juga pak “Haji” tukang berdoa saat ada acara-acara sosial tertentu.
Lalu, apa masalahnya filsafat dengan agama ? Tidak ada masalah. Bahwa bagi mereka yang mau berfilsafat, ya silakan saja. Bagi mereka yang mau berfilsafat dengan melepas agama ya silakan juga. Bagi mereka yang berfilsafat dengan tidak beragama, silakan juga. Dan, bagi mereka yang mau beragama tanpa harus berfilsafat, tentu silakan saja. Lalu, apa masalahnya ? Masalahnya, adalah jika masing-masing pihak menganggap dirinya paling benar kemudian menganggap pihak lain adalah bodoh dan …..
Meski berfilsafat itu penting, namun tidak harus ada anggapan bahwa beragama yang baik haruslah terlebih dahulu menjadi seorang ahli filsafat, atau ikut berfikir secara filsafat. Bukankah, para sahabat nabi pun tidak banyak yang tahu tentang filsafat, namun penghayatan keagamaanya justru lebih baik ? Karena, memang agama hakikatnya bukanlah filsafat, namun soal penghayatan spiritual, soal pesan-pesan moral, juga sebagian berupa petunjuk praktis dalam hidup. Meski demikian, agama pun bisa didekati dari cara berfikir filsafat. Bukankah Bilal, sahabat Nabi, hanya tahu Islam itu adalah AHAD, sama sekali tidak kenal filsafat, namun siapa yang berani katakan bahwa Bilah tidak memahami Islam secara baik ?
Saya sendiri berpendapat, bahwa filsafat itu diperlukan bagi mereka yng ingin memahami suatu hakikat pengetahuan yang lebih mendasar dan utuh atas sesuatu dibalik pemahaman agama atau pemahaman apapun yang telah ada di masyarakat.Bahwa ada pencerahan dari cara berfikir filsafat. Bahwa ada kritik sosial yang mengena, agar seseorang lebih memiliki kesalehan secara sosial, di samping kesalehan ritual (pribadi).
Namun, penghayatan atas agama sangat ditentukan oleh masing-masing orang sesuai dengan kadar dan kepuasan spiritualnya masing-masing. Ada yang cukup ikut mengaji pada ustadz, ada yang cukup dengan apa yang didapat dari bangku sekolah atau madrasah. Ada yang cukup setelah membaca sekian banyak buku, ada yang cukup setelah ikut berdiskusi dan berdebat kian kemari.
Ada yang cukup ketika telah berfikir filsafat ke sana ke sini, bongkar sana bongkar sini. Ada yang merasa cukup setelah mengalami sendiri sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagi dirinya sendiri, dan lain-lain. Dan, ada yang juga tidak cukup-cukup saja setelah melanglangbuana kemana-mana, bahkan setelah melepas agamanya sekalipun. Mungkin, waktu saja yang akan menentukannya. Mungkin, ada juga yang tidak cukup selamanya hingga dibuat “bingung” berketerusan hingga akhir hayatnya.
Dalam kaitan ini, maka berfilsafat perlu proporsional, bahwa sejatinya filsafat bukanlah demi filsafat sendiri. Namun, sebagaimana bidang pemikiran manusia yang lain, seperti ilmu agama, sains, teknologi, seni dan lain-lain, maka filsafat pada akhirnya haruslah demi kemanusiaan itu sendiri. Bahwa dengan filsafat, ada hal yang dapat disumbangkan secara positif terhadap kemajuan kemanusiaan. Tentu, bukan berlaku sebaliknya, malah melahirkan hal-hal lain yang anti kemanusiaan.
Bahwa masih banyak hal yang menunggu peran aktif siapapun, termasuk kaum filsuf, untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan bersama yang bersifat universal, antara lain masalah pangan, masalah kemiskinan, masalah lingkungan, masalah energi, masalah kekerasan, masalah ketidakadilan, masalah HAM, dan lain-lain. Menurut saya, justru masalah-masalah inilah yang mendesak kita bersama, para filsuf, saintis, akademisi, teknisi, politisi, karyawan, buruh, tukang becak, pelajar, mahasiswa, penulis, kaum beragama atau kaum tidak beragama, dan lain-lain, untuk turut aktif dalam memecahkan masalah kemanusiaan universal secara bersama-sama pula.
Bahwa, kini bukan saatnya lagi, atas nama apapun untuk menyarankan kekerasan, atau memberikan penghinaan kepada pihak lain yang dianggap berbeda. Tentu, kita punya cara-cara lain yang dianggap lebih elegan dan manusiawi, serta lebih bermartabat dan beradab. Dan, saya kira untuk inilah salah satunya manfaat dari berfilsafat (aspek aksiologis filsafat), yakni bagaimana kita dapat membangun sebuah hubungan antar manusia yang lebih adil dan beradab.
Bagaimana dengan pendapat Anda ?
Demikian, terima kasih

DARI RAGU MENUJU TAHU

Imam Ghazali pernah menderita keraguan ketika  menjadi guru besar yang paling tersohor di universitas Nidhamiyyah. Kayu yang lurus  dimasukkan ke dalam air terilah bengkok. Bayang-bayang yang tampaknya diam itu ternyata  bergerak. Dari kasus itu ia menjadi ragu terhadap prestasi semua cabang ilmu (hukum/fikih, teologi/ilmu kalam, dan filsafat) melalui tasawuf, ia menemukan ilmu yang terang benderang.  Senior Ima a-Ghazali, Abu Hasan a-Asy’ari menjadi  ragu dalam ilmu kaam. Tuhan itu bersifat atau  tidak bersifat. Semula mengikuti paham Tuhan itu tidak bersifat,  setelah bertafakkur selama 40 hari ia merasa  menemukan kebenaran (pengetahuan) bahwa  Tuhan itu bersifat. Sifat berbeda dari dzat, tetapi  sifat bukan sesuatu yang lain dari dzat.  Filosof Barat, Rene Descartes, meragukan dirinya  ada atau tiada. Ketika meragukan segala sesuatu  tentang diri dan ia merasa ragu, atau benar-benar  meragukannya, yang paling tidak meragukan  adalah ia berpikir bahwa dirinya ragu. Dari sini  berkesimpulan bahwa dirinya ada karena dipirkan. Untuk itu ia mengatakan bahwa aku ada karena aku berpikir (cogito ergo zum) Jauh sebeum Descartes, Imam Abu Hasal alAsy’ari, dan Imam a-Ghazali, al-Farabi telah  menyusun teori orang terbang atau teori orang menggantung.

-          Orang tanpa busana, tidak ada anggota tubuh yang saling bersentuhan, dan tak ada anggota  tubuh yang bersentuhan dengan sesuatu di luar  tubuh. Pada saat demikian ini, pasti sadar bahwa  dirinya ada. Ini membuktikan bahwa jiwa itu ada.  Dari segi teori pengetahuan, ia menjadi tahu bahwa dirinya ada, artinya pengetahuan itu mungkin.

Manusia Mencari Kebenaran

Manusia mencari kebenaran dengan menggunakan akal sehat (commonsense) dan dengan ilmu pengetahuan.Letak perbedaan yang mendasar antara keduanya ialah berkisar pada kata “sistematik” dan “terkendali”. Ada lima hal pokok yang membedakan antara ilmu dan akal sehat. Yang pertama, ilmu pengetahuan dikembangkan melalui struktur-stuktur teori, dan diuji konsistensi internalnya. Dalammengembangkan strukturnya, hal itu dilakukan dengan tes ataupun pengujiansecara empiris/faktual. Sedang penggunaan akal sehat biasanya tidak. Yangkedua, dalam ilmu pengetahuan, teori dan hipotesis selalu diuji secaraempiris/faktual. Halnya dengan orang yang bukan ilmuwan dengan cara “selektif”. Yang ketiga, adanya pengertian kendali (kontrol) yang dalam penelitian ilmiah dapat mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Yangkeempat, ilmu pengetahuan menekankan adanya hubungan antara fenomenasecara sadar dan sistematis. Pola penghubungnya tidak dilakukan secara asal-asalan. Yang kelima, perbedaan terletak pada cara memberi penjelasan yangberlainan dalam mengamati suatu fenomena. Dalam menerangkan hubunganantar fenomena, ilmuwan melakukan dengan hati-hati dan menghindaripenafsiran yang bersifat metafisis. Proposisi yang dihasilkan selalu terbukauntuk pengamatan dan pengujian secara ilmiah

PUNCAK KEJAYAAN ISLAM DI ANDALUSIA


Meskipun saat ini jumlah umat Islamnya minoritas di setiap negara-negara Eropa, ternyata benua ini pernah menyimpan jejak sejarah kejayaan kekuasaan Islam. Dalam sejarah Islam, Spanyol atau yang dahulu dikenal dengan tanah Andalusia adalah salah satu pusat kekuasaan Islam yang terbesar di benua Eropa itu. Kata "Al-Andalus" merupakan bahasa Arab yang berarti “menjadi hijau saat akhir musim panas.”
Kaum muslim menaklukkan Andalusia yang dikuasai orang-orang Goth pada tahun 711 M./92 H. Kaum muslim berkuasa di Andalusia selama hampir delapan abad melahirkan sebuah peradaban ilmiah cemerlang. Kejayaan Andalusia sudah berakhir, namun peradabannya masih bertahan hingga saat ini. Masa kejayaan yang bertahan lebih dari tujuh abad lamanya itu belum pernah tersaingi oleh negara manapun hingga saat ini.  
Kejayaan Andalusia tidak bisa terlepas dari peranan besar khalifah Bani Umayah yang pertama. Abdul Rahman I (756-788) adalah seorang pemimpin yang terpelajar, berwibawa dan amat berminat di bidang kesastraan. Karena begitu cintanya pada bidang itu, ia mendirikan satu tempat khusus di dalam istanyanya yang diberi gelar "Darul Madaniyat" untuk kegiatan kesusasteraan untuk kalangan wanita Andalus. Setelah masa Abdul Rahman I, penggantinya juga adalah seorang pemerintah yang menitikberatkan dibidang kelimuan. Jasa beliau yang terbesar adalah tentang penyebaran bahasa Arab dan melemahkan bahasa aing di di seluruh semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal). Beliau yang menjadikan bahasa arab sebagai Lingua Franca dalam hubungan antar bangsa pada zamannya dan zaman berikutnya.
Jadi kita dapat melihat bahwa kontribusi umat Muslim kepada dunia sangat mengagumkan. Umat Muslim mengembangkan teknologi dengan begitu baik sehingga dapat berguna bagi dunia Barat dan menolong Eropa yang berada dalam masa kegelapan. Eropa pada saat itu berada dalam masa keruntuhannya dan Eropa bukan lagi pusat dunia, tapi ketika para sejarawan non-Muslim menganggapnya sebagai masa kegelapan Eropa, tepat di bagian barat Eropa, berdirilah negeri Muslim yang memukau bernama Andalusia, yang merupakan Kekhalifahan Spanyol.
Kota-kota di Spanyol pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban yang membuat banyak pelajar-pelajar Eropa menimba ilmu di sana. Andalusia sudah mengetahui bahwa matahari sebagai pusat tata surya, sedangkan saat itubangsa Eropa masih memperdebatkan teori geosentris ptolemeus (bumi sebagai pusat edar). Betapa jauh peradaban Andalusia. Pada saat itu, Andalusia merupakan sebuah pusat pendidikan. Kota-kota seperti Toledo, Sevilla, Granada, dan Cordoba adalah tempat yang pernah menjadi sejarah bagi kejayaan Islam ketika agama itu berhasil mewarnai Andalusia hingga 5 abad lamanya.
Tradisi kelimuan yang begitu kental membuat peradaban Andalusia melesat jauh dibanding negara-negara lain. Ilmu pengetahuan tersebut akhirnya tertuang pada pembangunan dan teknologi Andalusia yang maju. Mengutip Anwar G Chejne, Salmah menggambarkan keindahan Cordoba. Pada Abad ke-10 M, Cordoba mengalahkan keindahan Constantinople, dengan rumah sakit, universitas, penerbitan buku, industri kertas, mesjid dan istana yang sangat cantik, perpustakaan, kolam mandi dan taman persiaran yang indah. Perpustakaan umum dibangun di setiap wilayah. Di kota Cordoba saja terdapat 70 buah perpustakaan yang bisa digunakan oleh seluruh masyarakat. 
Ilmuan-ilmuan pun akhirnya bermunculan saat itu. Ahli matematika (Al-Khwarizmi, Orang pertama yang menulis buku berhitung dan aljabar), ahli kedokteran (Al-Kindi penulis buku ilmu mata, Ar-Razi atau Rhazez penulis buke kedokteran, Abu Al-Qasim al-Zahrawi ahli bedah, Ibnu Nafis penemu sirkulasi darah, dan Ibnu Sina), ahli satra (Ibn Abd Rabbih, Ibn Bassam, Ibn Khaqan), ahli hukum, politik, ekonomi, astronomi (Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash, penentu gerhana dan pembuat teropong bintang modern), ahli hadits dan fikih (Ibnu Abdil Barr, Qadi Iyad), sejarah (Ibn Khaldun penemu teori sejarah), ahli kelautan (Ibnu Majid). Bahkan penjelajah Andalusia menginjakkan kakinya di Benua Amerika lima abad sebelum Christopher Colombus.
Eropa berada di periode yang paling produktif dan kreatif sepanjang sejarahnya. Hal-hal seperti katedral gotik, universitas, pengadilan, dan perundang-undangan, semuanya diciptakan. Jadi dari masa kegelapan yang berlangsung lama, datanglah sebuah ledakan luar biasa yang merupakan pencapaian budaya yang mengagumkan. Renaissance telah kembali, cahaya-cahaya kembali hidup. Apa yang terjadi di antara tahun 700-1.500? Apakah itu masa kegelapan? Itulah masa keemasan Islam, dan sekarang mari kita bicarakan beberapa kontribusi yang diciptakan umat Muslim.
Dalam matematika, beberapa prestasi yang dicapai adalah mereka menemukan aljabar, simbol dan persamaan, mengembangkan sistem penomoran Arab (01234567890 yang digunakan di seluruh dunia pada zaman sekarang). Mereka menciptakan algorism (Sistem desimal dalam bahasa Arab). Mereka menemukan rumus umum untuk menyelesaikan third degree equations. Mereka menemukan rasio trigonomic, rumus-rumus, dan persamaan. Kalian dapat terus melanjutkan dan melihat... Kalkulus, trigonometri, dan semua bidang studi ini berhutang budi pada Islam.
Dalam Fisika, mereka menciptakan pengetahuan tentang mekanik, mereka menjelaskan pusat gravitasi, mereka mendeskripsikan gravitasi. Jadi ketika sebuah apel mengenai kepala Isaac Newton, dia mungkin sedang membaca sebuah buku bahasa Arab, dan kemudian dia terbangun dari tidurnya
Kembali ke pembahasan mengenai Spanyol, pada Abad ke-7 itu, Andalusia telah memiliki sistem perairan dan irigasi yang baik, namun bangsa Eropa bahkan belum mengenal istilah mandi. Ketika Andalusia sudah memiliki dokter-dokter ahli, bangsa Eropa menilai sakit itu adalah kutukan. Andalusia telah menciptakan kamar mandi dan wc, Inggris malah masih 'BAB' di kantong plastik dan membuangnya dijalan. Mereka dapat mengambil air dari atas gunung dan membawanya turun dari gunung menggunakan pipa air, kanal, dan dikanalkan ke seluruh penjuru kota, sehingga setiap rumah dapat mengakses air. Dan mereka melakukan itu semua tanpa menghancurkan, membendung, atau menyumbat sesuatu, mereka mendesainnya dengan sangat lihai, mereka menggunakan gravitasi, ini cara yang alami untuk melakukan sesuatu.
Dan jika kalian pergi ke Granada sekarang, kalian akan melihat saluran airnya sudah digunakan sejak waktu umat Muslim, air mengalir ke segala penjuru dan inilah prestasi luar biasa yang mereka ciptakan! Matematika, astronomi, botani, sejarah, filosofi, dan yurisprudensi dikembangkan di Spanyol, dan hanya di Spanyol saja! Semua yang mendorong kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa, semua yang mendorong perkembangan dan peradaban, ditemukan di Muslim Spanyol

TAN MALAKA (PAHLAWAN ISLAM YANG TERLUPAKAN)


Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Tan Malaka adalah tokoh yang sangat berjasa bagi Indonesia. Dialah pencetus pertama berdirinya Republik Indonesia, sebagaimana ditulisnya dalam bukunya yang berjudul ‘Naar de Republiek Indonesia’ (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, beberapa tahun sebelum Bung Hatta dan Bung Karno menulis buku soal konsep kemerdekaan Indonesia. Pemikirannya banyak dijadikan rujukan oleh Bung Karno dan tokoh pergerakan lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno bahkan memberinya gelar sebagai ‘orang yang ahli dalam revolusi’, sementara Moh Yamin dalam tulisannya di sebuah artikel koran menyebut Tan Malaka sebagai ‘Bapak Republik Indonesia.’
Melalui buku ini, pembaca akan diajak mengikuti perjalanan hidup Tan Malaka, yang ternyata memang sangat menarik dan revolusioner, sekaligus tragis. Dia ternyata sosok pemikir yang terjun langsung berusaha mendidik anak-anak di sekolah. Ya, Tan Malaka adalah seorang guru, yang benar-benar berpeluh mengajar anak-anak di sekolah-sekolah Syarikat Islam (SI), dengan gaji sangat minim, dengan ketersediaan biaya operasional jauh dari cukup. Dengan ijazah guru lulusan Belanda yang dimilikinya, Tan Malaka bisa (dan sudah) mengajar di sekolah milik Belanda dengan gaji sangat  tinggi. Namun kesempatan itu dia tinggalkan untuk mengajar di sekolah SI di Semarang pada Juni 1921.
Pemerintah kolonial saat itu mengizinkan dibukanya sekolah-sekolah SI karena mengira sekolah-sekolah itu akan tutup dengan sendirinya karena tidak ada dana. Tan Malaka dkk pun merencanakan membuat pasar amal untuk mencari dana, namun dilarang pemerintah. Akhirnya, murid-murid ke kampung-kampung dengan dikawal orang dewasa, untuk mencari sumbangan dari penduduk kampung. Bahkan Tan Malaka ikut terjun langsung, mengawal  murid-muridnya mencari sumbangan (hal 81). Dalam waktu singkat, sekolah SI memiliki banyak murid dan mendapatkan undangan untuk mendirikan cabang di berbagai kota. Cabang-cabang SI di berbagai kota lain pun meraih simpati masyarakat dan banyak yang mengirimkan anak-anak mereka bersekolah di SI. Bahkan cara mengajar TanMalaka pun sangat visioner: anak-anak dibebaskan untuk belajar dan mengerjakan sesuatu, sedangkan guru membimbing dan memberi nasehat.
Pemerintah Belanda akhirnya khawatir melihat kemajuan pesat sekolah SI. Tan Malaka pun dibuang ke Belanda pada Februari 1922, hanya delapan bulan setelah Tan Malaka mulai mengajar di SI.
Selanjutnya di buku ini diceritakan bagaimana perjuangan Tan Malaka untuk kemerdekaan Indonesia selama masa pembuangan, dengan bahasa yang menarik dan mudah dicerna, sehingga terasa bak membaca novel.  Di akhir buku, dikisahkan episode tragis kehidupan Tan Malaka (dan Indonesia), yaitu perpecahan di antara sesama tokoh pejuang kemerdekaan.
Tan Malaka menolak ajakan untuk bergabung dengan pemerintah Sukarno-Hatta karena dia menentang politik diplomasi yang merugikan Indonesia, dan karena kritik-kritiknya pada pemerintah, dia bahkan dijebloskan ke penjara sebagai tahanan politik. Di sisi lain, Tan Malaka juga menolak pemberontakan PKI melawan pemerintah dan bahkan mendukung tindakan pemerintah membungkam pemberontakan itu. Dia menulis (mengomentari pemberontakan PKI 1948):
Tetapi karena aksi PKI Musso ditujukan kepada pemerintah Republik yang ada sekarang, pertama sekali, urusan dan kewajiban pemerintah  inilah pula membela kekuasaannya. Tidak bisa dua kekuasaan tertinggu ada dalam satu negara. Rakyat harus tahu mana pemerintah yang harus diikutinya.” (hal 268)
Pada bulan November 1948, Tan Malaka mengingatkan pemerintah akan terjadinya agresi militer Belanda akibat politik diplomasi yang tak kunjung memuaskan kedua pihak (Indonesia-Belanda). Namun pemerintah tak menghiraukan, dan terus berunding dengan Belanda. Benar saja, Desember 1948, Belanda melancarkan agresi, Sukarno-Hatta ditangkap dan dibuang ke Sumatera. Sukarno-Hatta memerintahkan Syafruddin Prawiranegara  untuk membentuk pemerintahan Darurat RI di Sumatera Barat.”
Sementara itu Jenderal Sudirman mengumumkan kondisi darurat Perang dan memilih jalan tegas untuk melawan belanda melalui perang gerilya. Tindakan Jenderal Sudirman ini sebenarnya sejalan dengan Tan Malaka, yang sejak awal menolak segala bentuk perundingan dengan Belanda. Tan Malaka aktif menyeru rakyat untuk berjuang angkat senjata melawan Belanda.
Ironisnya, militer RI dan lawan-lawan politiknya justru menuduh Tan Malaka ingin memberontak dari RI. Pada tanggal 21 Februari 1949, Tan Malaka ditangkap dan ditembak mati oleh tentara Militer Divisi I Jawa Timur. Dia ditembak mati dalam kondisi Indonesia sedang diagresi oleh Belanda dan pada saat dia sedang memimpin rakyat angkat senjata untuk mengusir Belanda. Sungguh tragis.
“Tan Malaka orang yang luar biasa dan petualangannya sangat menarik, saya harus melintasi dua benua dan dua negara untuk mencari jejak sejarahnya, jejaknya ada dimana-mana.”(Harry A. Poeze, lebih 20 tahun meneliti Tan Malaka).

Pengaruh Idealisme di Ruang Kelas

Secara historis, idealisme diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh Plato (427-347 SM). Semasa Plato hidup kota Athena adalah kota yang berada dalam kondisi transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki era baru. Seiring dengan adanya peperangan-peperangan tersebut, perdagangan dan perniagaan tumbuh subur dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan Athena dalam jumlah besar untuk meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul berbagai gagasan-gagasan baru ke dalam lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru tersebut dapat mengarahkan warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai tradisional. Saat itu pula muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis. Ajarannya memfokuskan pada individualisme, karena mereka berupaya menyiapkan warga untuk menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya terletak pada individualisme, hal itu disebabkan karena adanya pergeseran dari budaya komunal masa lalu menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan nilai.
Proses mengetahui terjadi dalam pikiran,manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir. Di samping itu, manusia dapat pula memperoleh pengetahuan melalui intuisi. Bahkan beberapa filsuf Idealisme percaya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat kembali (semua pengetahuan adalah sesuatu yang diingat kembali). Plato adalah salah seorang penganut pandangan ini. Ia sampai pada kesimpulan tersebut berdasarkan asumsi bahwa spirit/jiwa manusia bersifat abadi, yang mana pengetahuan sudah ada di dalam spirit/jiwa sejak manusia dilahirkan.
Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai-nilai bersifat abadi. Menurut penganut Idealisme Theistik nilai-nilai abadi berada pada Tuhan. Baik dan jahat, indah dan jelek diketahui setingkat dengan ide baik dan ide indah konsisten dengan baik dan indah yang absolut dalam Tuhan. Penganut Idealisme Pantheistik mengidentikan Tuhan dengan alam. Nilai-nilai adalah absolut dan tidak berubah (abadi), sebab nilai-nilai merupakan bagian dari aturan-aturan yang sudah ditentukan alam (Callahan and Clark, 1983). Sebab itu dapat Anda simpulkan bahwa manusia diperintah oleh nilai-nilai moral imperatif dan abadi yang bersumber dari Realitas Yang Absolut.
Bagi aliran idealisme, peserta didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
Guru menjadi agen penting dalam menolong siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin Guru idealis menyajikan bahan belajar warisan budaya yang terbaik. Membuat siswa berperan dalam menyumbangkan karya mereka untuk masyarakat. Guru idealis akan menekankan para siswa untuk menggapai cita- cita tertinggi yang mampu ia raih. Menunjukkan jalan bagi siswa untuk mencapai yang terbaik dalam hidup. Visi hidup haruslah tinggi sehingga menginspirasi siswa untuk berjuang lebih keras. Siswa tidak boleh terpengaruh dengan kondisi sosial yang tidak mendukung pencapaian cita- cita. Siswa diajarkan untuk berani bermimpi kemudian berjuang keras untuk mewujudkan mimpi- mimpinya.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
Power (1982:89) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme sebagai berikut :
1). Tujuan Pendidikan
Pendidikan formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial. Mengingat bakatmanusia berbeda-beda maka pendidikan yang diberikan kepada setiap orang harus sesuaidengan bakatnya masing-masing sehingga kedudukan, jabatan, fungsi dan tangung jawab setiap orang di dalam masyarakat/negara menjadi teratur sesuai asas “the right man onthe right place” , dan lebih jauh dari itu agar manusia hidup sesuai nilai dan norma yang diturunkan dari Yang Absolut.
2). Kedudukan Siswa
Kedudukan siswa yang dimaksud disini yaitu siswa bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya/bakatnya.
3). Peranan Guru
Peranan guru yang dimaksud disini adalah guru dapat bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan siswa. Selain itu guru harus unggul agar menjadi teladan bagi parasiswanya, baik secara moral maupun intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting di dalam sistem sekolah selain guru. Guru harus unggul dalam pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan serta kemampuan-kemampuan para siswa,  serta guru  harus mendemonstrasikan keunggulan moral dalam keyakinan dan tingkah lakunya. Guru harus dapat  melatih berpikir kreatif dalam mengembangkan kesempatan bagi pikiran siswa untuk menemukan, menganalisis, memadukan, mensintesa, dan menciptakan aplikasi-aplikasi pengetahuan untuk hidup dan berbuat.
4). Kurikulum
Pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memproleh pekerjaan. Kurikulumnya diorganisasi menurut mata pelajaran dan berpusatpada materi pelajaran (subject matter centered). Karena masyarakat dan Yang Absolut mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya individu hidup, maka isi kurikulum tersebut harus merupakan nilai-nilai kebudayaan yang esensial dalam segala zaman. Sebab, itu, mata pelajaran atau kurikulum pendidikan itu cenderung berlaku
sama untuk semua siswa.
5). Metode
Metode yang di gunakan adalah metode dialek. Dimana metode dialek itu merupakan  metode  yang dapat mendorong siswa untuk memperluas cakrawala, yang dapat mendorong untuk berpikir reflektif, mendorong pilihan-pilihan moral pribadi, memberikan keterampilan-keterampilan berpikir logis,  memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan sosial; meningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran, serta dapat mendorong siswa untuk menerima nilai-nilai peradaban manusia.
Dalam konsep ini, guru harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sabagai alat. Guru harus bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia merupakan contoh yang baik untuk diterima oleh siswanya. Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti dan abadi, dimana tujuan itu berada di luar kehidupan sekarang ini. Tujuan pendidikan idealisme akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi, yang berasal dari Tuhan.
Daftar Pusaka
Noor, M., (Ed.). 1987. Filsafat dan Teori Pendidikan: Jilid I Filsafat Pendidikan, Sub Koordinator Mata kuliah filsafat dan Teori Pendidikan. Bandung:Fakultas Ilmu Pendidikan.
Syaripudin, T. dan Kurniasih. 2008. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:Percikan Ilmu.

Syam, M. N.. 1984. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya:Usaha Nasional.

Persoalan Filsafat


Ada persoalan yang selalu menjadi perhatian para filsuf yaitu: ada, pengetahuan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan. Keenam persoalan tersebut memerlukan jawaban secara radikal, dan tiap-tiap persoalan menjadikan salah satu cabang filsafat.
a.                  Persoalan tentang “Ada”
Persoalan tentang “ada” ini akan menghasilkan cabang filsafat metafisika. Dimana metafisika berarti kajian tentang sifat paling dalam dan radikal dari kenyataannya. Dalam kajian ini para filsuf tidak menyatu kepada ciri-ciri khusus dari benda tertentu, akan tetapi para filsuf ini mengacu kepada ciri-ciri universal dari semua benda.
b.                 Persoalan tentang Pengetahuan
Persoalan tentang pengetahuan ini akan mengahasilkan cabang filsafat epistimologi, yang berarti cabang pengetahuan. Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
c.                  Persoalan tentang Penyimpulan
Persoalan tentang penyimpulan menghasilkan cabang filsafat logika. Logika berasal dari istilah Yunani yaitu logos yang berarti uraian, nalar, secara umum pengertian logika ialah telaah mengenai aturan-aturan penalaran yang benar. Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir tepat dan benar. Sedangkan berpikir mempunyai arti kegiatan pikiran atau akal budi manusia.
d.                 Persoalan tentang Metode
Persoalan tentang metode akan menghasilkan cabang filsafat metologi. Metologi secara umum adalah kajian atau telaah dan penyusunan secara sistematik dari beberapa proses dan asas-asas logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah, atau sebagai penyusun struktur ilmu-ilmu vak.
e.                  Persoalan tentang Moralitas
Persoalan tentang moralitas akan menghasilkan cabang filsafat etika. Yang mana etika itu merupakan salah satu cabang filsafat menghendaki adanya ukuran yang bersifat universal. Dalam hal ini berarti berlaku untuk semua orang dan setiap saat, jadi tidak dibatasi ruang dan waktu.
f.                   Persoalan tentang Keindahan
Persoalan tentang keindahan ini akan menghasilkan cabang filsafat estetika. Dimana estetika itu merupakan kajian kefilsafatan mengenai keindahan dan tidak keindahan. Dalam pengertian yang lebih luas estetika merupakan cabang filsafat yang menyakut bidang keindahan atau sesuatu yang indah terutama masalah seni dan rasa, norma-norma nilai dalam seni.
Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta

Sejarah dan Arti Lambang Negara Indonesia


Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950. Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958.
Sejarah
       Arca Raja Airlangga digambarkan sebagai Wishnu mengendarai Garuda. Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II masih menampilkan bentuk tradisional Garuda yang bertubuh manusia. Garuda Pancasila yang diresmikan penggunaannya pada 11 Februari 1950, masih tanpa jambul dan posisi cakar di belakang pita. Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan arca Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa Kuna paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.
       Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuna telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.
            Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah
            Lambang Garuda juga digunakan di jersey Tim Nasional Sepak Bola Indonesia. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.
            Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
            Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.  Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
            Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.[4] Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.
Deskripsi dan arti filosofi                           
                      
Garuda
  • Garuda Pancasila sendiri adalah burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
  • Warna keemasan pada burung Garuda melambangkan keagungan dan kejayaan.
  • Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.
  • Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain:
    • 17 helai bulu pada masing-masing sayap
    • 8 helai bulu pada ekor
    • 19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
    • 45 helai bulu di leher
Perisai
  • Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
  • Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis khatulistiwa membentang dari timur ke barat.
  • Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera kebangsaan Indonesia "merah-putih". Sedangkan pada bagian tengahnya berwarna dasar hitam.
  • Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara Pancasila. Pengaturan lambang pada ruang perisai adalah sebagai berikut.
  1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam.
  2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar merah.
  3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai berlatar putih.
  4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai berlatar merah dan
  5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.
Pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
  • Kedua cakar Garuda Pancasila mencengkeram sehelai pita putih bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" berwarna hitam.
  • Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata "bhinneka" berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, kata "tunggal" berarti satu, kata "ika" berarti itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya tetap adalah satu kesatuan, bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.