Kamis, 12 Januari 2017

Islam dan Dunia Kontemporer

Islam dan Tradisi di Indonesia Sekarang
Dunia kontemporer Islam atau dunia pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Islam telah ada di Indonesia sejak adanya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu di Aceh yang dikenal dengan kerajaan Samudera Pasai. Meskipun Islam telah lama kita ketahui dan anut, tetapi pengamalan agamanya masih sinkretik,yaitu masih bercampur dengan budaya lokal. Muhammad Abduh,salah seorang pembahru dari Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya mengemukakan ide-ide pembaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang terdapat dalam ajaran Islam, kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sifat dualism (dalam bidang pendidikan).
Sementara itu Sayid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, dalam Abuddin Nata (378-380) berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Al-Quran tidak bertentangan, karena keduanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad.
Yang menjadi persoalan adalah apakah budaya yang dilakukan oleh para pendahulu kita sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya atau tidak, seperti budaya slametan yang berhubungan dengan kelahiran, contoh: tingkeban, brokokan, pasaran, pitonan, telonan, selapanan, dan taunan (Cliford Geerta dalam Atang dan Mubarok, 2010: 190).
Selain itu masih banyak lagi budaya yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yang faktanya hingga sekarang masih terdapat masyarakat Islam yang mengamalkan budaya tersebut. Meskipun zaman sudah modern,tetapi sebagian dari mereka enggan melepaskan budaya leluhur mereka. Karena mereka menganggap bahwa budaya itu harus tetap dilestarikan, meskipun banyak lembaga yang tidak sepakat dengan pengamalan budaya tersebut. Contoh: Muhammadiyah dan Persis, yang berusaha melakukan pembaruan dengan melepaskan umat dari pengaruh-pengaruh non-Islam, akan tetapi gerakan ini mendapat tantangan dari kalangan Nahdliyyin yang tetap pada pendiriannya dalam melestarikan kebudayaan leluhur mereka (Atang dan Mubarok, 2010: 191).
Kategorisasinya yang banyak di kritik banyak penelitian sesudahnya adalah priyayi,santri,dan abangan.Kategorisasi tersebut di pandang “ keliru “ karena patokan (ugeran) yang di gunakan di nilai tidak konsisten.Priyayi tidaklah sama dengan kategori santri dan abangan.Priyayi adalah kelas sosial yang lawannya adalah wong cilik atau proletar.Oleh karena itu,baik dalam golongan santri maupun dalam golongan abangan terdapat priyayi (elite) maupun wong cilik.Kritik tersebut ,antara lain di kemukakan oleh Zaini Muchtarom dalam karyanya,santridan abangan di Jawa (1988).
Paling tidak,di Indonesia terdapat dua penelitian yang di lakukan secara mendalam  yang menjelaskan hubungan tradisi lokal dengan islam.Pertama,penelitian yang di lakukan Clifford Geertz di Mojokuto yang hasil penelitiannya pertama kali di terbitkan di Amerika pada tahun 1960.Kedua,penelitian yang di lakukan oleh Howard M. Federspiel tentang persatuaan islam (PERSIS) yang di terbitkan di New York pada (1970).Buku yang kedua ni telah di alih bahasakan kedalam bahasa Indonesia oleh Yudian W.Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam : pembaharuan islam di indonesia abad XX (1996).
Sebenarnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk melakukan aqiqah, jika lahirnya anak dari pernikahan suami dan istri, dan itu pun hukumnya sunnah, dilaksanakan ketika bayi berusia tujuh hari dari kelahirannya, untuk bayi laki-laki aqiqahnya menyembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi perempuan aqiqahnya dengan menyembelih seekor saja. Tapi yang menjadi pertanyaan mengapa para pendahulu kita mengadakan budaya slametan kelahiran anak yang begitu banyak sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Padahal Nabi SAW menganjurakan hanya satu kali slametan, yaitu aqiqah. Terlihatlah bahwa Islam menganugerahkan kemudahan pada penganutnya.
Akan tetapi kebudayaan leluhur tersebut bisa dilestarikan, apabila forumnya bertujuan untuk shodaqoh dan bukan atas dasr kepercayaan pada hal-hal yang mistis, misalkan: “wah jika tidak melakukan tingkeban, brokokan, pasaran, dan pitonan nanti sang bayi akan diganggu oleh lelembut niiiih”. Yang akhirnya memaksa untuk menerapkan budaya itu meskipun keadaan ekonomi keluarga itu minimum. Padahal amalan yang terbaik ketika hamil adalah sholat, membaca dan mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran pun sudah cukup. Jika dikaji lebih mendalam, Al-Quran sangat berpengaruh besar dalam perkembangan janin.
Dengan adanya pertikaian amalan budaya ini, maka lahirlah dua kaum, yaitu kaum tua yang cenderung statis, tidak mau mengalami perubahan dalam suatu ajaran. Menurut Howard M. Federspiel dalam Atang dan Mubarok (2010: 192-193) kaum tua meyakini bahwa kebenaran yang dilakukan dalam ajaran-ajaran ulama besar zaman klasik dan zaman pertengahan tidak berubah, sehingga kebenarannya tidak perlu dikaji ulang, mereka menuduh bahwa orang-orang yang menentang mereka adalah orang kafir dan terkutuk, dan mereka yang tertuduh adalah kaum muda. Jadi sudah jelas bahwa kaum muda adalah kaum yang mendukung perubahan radikal dalam pemikiran dan praktik di nusantara.
Meskipun sekarang ini sedang memasuki zaman teknik (modern) dan tidak lama lagi akan memasuki milenium ketiga ,keberagaman kita tidak sepenuhnya dapat lepas dari pengaruh sinkretik yang di wariskan oleh para pendahulu kita.Secara kelembagaan ,Muhamadiyyah dan Persis berusaha melakukan pembaruan dengan melepaskan umat dari pengaruh-pengaruh non-islam.Akan tetapi,gerakan ini mendapat tantangan dari kalangan nahdliyin (NU) yang cenderung mentolelir dan melestarikan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Dalam merespons tradisi yang berkembang di masyarakat,secara umum,umat islam di bedakan menjadi dua :
1.Kaum Tua
2.Kaum Muda
    Kaum muda adalah ulama pendukung perubahan-perubahan radikal dalam pemikiran dan praktik keagamaan di Nusantara,sedangkan Kaum Tua adalah ulama yang menentang perubahan-perubahan yang di kembangkan Kaum Muda dan mempertahankan sistem keagamaan di indonesia yang di nilai telah mapan.
   Kaum tua meyakini bahwa kebenaran yang di kemukakan dalam ajaran-ajaran ulama besar  zaman klasik dan zaman pertengahan,seperti al-ghazali,al-Asy’ari,dan al-Maturidi dalam bidang teologi,dan imam-imam dari mazhab-mazhab besar dalam bidang hukum islam tidak berubah.Bagi kaum tua kebenaran tidak perlu di kaji ulang,sebab kebenaran tidak pernah di ubah karena perubahan waktu dan kondisi (HOWARD M.Federspiel,1996 : 60). Kaum Tua menegaskan bahwa agama di pelajari melalui hafalan-hafalan di pondok pesantren,ia tidak bisa salah dan tidak boleh di tundukan oleh penelitian akal.
   Sedangkan kaum muda bersikap sebaliknya,mereka menentang keras praktik-praktik tasawuf,ketaatan,kepada mazhab-mazhab teologi  dan hukum islam,upacara ritual yang tidak otoritatif,dan do’a yang di maksudkan untuk mengantarkan roh yang baru meninggal dunia .

Reaksi Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi
Di zaman globalisasi dan modern saat ini, bangsa Indonesia belum menjadi bangsa yang maju melainkan masih berstatus bangsa berkembang, dan ternyata mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Umat Islam pada zaman dahulu mengalami kejayaan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bahkan mengerajai pengetahuan seluruh dunia, termasuk Amerika dan Jepang, yang amat maju di bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuannya di zaman sekarang ini. Sungguh umat Islam sekarang sudah tidak peduli dan merasa puas dengan kejayaan yang pernah diraih oleh umat Islam terdahulu, seharusnya kita rebut kembali kejayaan iptek itu, bukan hanya menggunakan tetapi harus bisa menciptakan. Di Jepang, seorang murid SD sudah bisa merakit komputer, sedangkan kita hanya user computer saja, bahkan ada sebagian yang belum mampu mengoperasikannya,karena rendah dalam penguasaan dan perkembangan sains dan teknologi,umat islam menjadi kelompok yang terbelakang.Mereka hampir di identikkan dengan kebodohan.
Sedangkan di sisi lain,umat agama lain begitu maju dengan berbagai teknologi,dari teknologi pengamatan terhadap luar angkasa sehingga teknologi pertanian.Secara umum,reaksi tersebut dapat di bedakan menjadi empat,yaitu :
1)   Tradisionalis
Pemikiran tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat islam adalah ketentuan dan rencana tuhan. Sebagai makhluk, kita dapat  tidak mengetahui  gambaran besar tentang skenario tuhan, dari perjalanan panjang umat manusia. (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997: 11).Akar teologis pemikiran tradisionalis bersandar pada aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah,terutama aliran asy’ariyah,yang juga merujuk pada aliran jabbariyah mengenai predeterminisme (takdir),yakni bahwa manusia harus menerima ketentuan dan rencana tuhan yang telah di bentuk sebelumnya.
Cara berfikir tradisionalis tidak hanya dapat di kalangan muslim di pedesaan yang di identikkan dengan NU,tapi sesungguhnya pemikiran tradisionalis terdapat di berbagai organisasi dan berbagai tempat.

2)   Modernis
Dalam masyarakat barat,modernis mengandung arti pikiran,aliran,gerakkan,dan usaha untuk mengubah paham-paham dan institusi-institusi lama untuk di sesuaikan dengan suasana baru yang di timbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi  (Harun Nasution,1991 :11).Oleh karena itu,modern (modernis,pelaku) lebih mengacu pada dorongan untuk melakukan perubahan karena paham-paham dan institusi-institusi lama di nilai “tidak relevan”.Kaum modernis percaya bahwa keterbelakangan umat islam lebih banyak di sebabkan oleh kesalahan sikap mental,budaya,atau teologi mereka.Pandangan kaum modernis merujuk padapemikiran modernis Muktazilah ,yang cenderung bersifat antroposentris degan doktrinnya yang sangat terkenal,yaitu ushul al-khamsah.Bagi muktazilah,manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri.Ia hidup tidak dalam keterpaksaan (jabbar).Akar teologi muktazillah dalam bidang af’al al-‘ibad (perbuatan manusia) adalah qadariyah sebagai tesis dari jabariyah. Asumsi dasar kaum modernis adalah bahwa keterbelakangan umat islam karena mereka melakukan sakralisasi terhadap semua bidang kehidupan.Asumsi tersebut pada dasarnya sejalan dengan aliran developmentalisme yang beranggapan bahwa kemunduran umat islam terjadi di indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan  globalisasi.

3)   Revivalis-fundamentalis
Kecenderungan umat islam ketiga dalam menghadapi globalisasi adalah revivalis.Revivalis menjelaskan faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal) sebagai dasar analisis tentang kemunduran umat islam.
Bagi revivalis,umat islam terbelakang karena mereka justru menggunakan ideologi  lain atau “isme” lain sebagai dasar pijakan daripada menggunakan Al-qur’an sebagai acuan dasar.Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa Al-qur’an  pada dasarnya telah menyediakan petunjuk secara komplit,jelas,dan sempurna sebagai dasar  bermasyarakat dan bernegara.

4)   Transformatif
Mereka (penggagas transformatif) percaya bahwa keterbelakangan umat islam disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan kultur. Agenda mereka adalah melakukantransformasi terhadap hal-hal yang mengakibatkan keterbelakangan umat islam dan melakukan perubahan-perunahan yang dapat membawa kemajuan bagi umat islam dalam berbagai bidang. Mereka lebih cenderung melakukan transformasi sosial. Menurut mereka agama islam adalah agama pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasi sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil.

Referensi:
Hakim,Atang Abd. 1999. Metodologi Studi Islam. Bandung : Rosda
Nata,Abuddin. 2009. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Pers
https://atumaryamitaqiya.wordpress.com./1/metodologi-studi-islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar