Kamis, 12 Januari 2017

ALIRAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME GURU SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER AGAR SISWA DAPAT MANDIRI


Aliran eksistensialisme agak sedikit rumit di badingkan aliran aliran filsafat yang lainnya karena di dalamnya pun banyak sekali aliran aliran yang berbeda. Tapi ada sesuatu yang sangat menonjol dari aliran ini, yaitu memfokuskan pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Eksistensialisme barasal dari kata dasar eksistensi (existency) yaitu dua buah kata yunani yaitu ex yang artinya keluar dan sistere yang berati berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari diri sendiri. Eksistensialisme adalah suatu gerakan filsafat yang mengusung ide bahwa manusia menciptakan makna dan hakekat hidup mereka sendiri. Oleh karena itu filsafat harus mengacu pada manusia yang konkrit, yaitu manusia sebagai eksistensi. Sebagai contoh, manusia aktif dan sibuk di dunia luar. Seolah – olah dia berada di luar dirinya sendiri, namun karena dia keluar dari dirinya itulah dia menjadi dirinya sediri. Eksistensialisme menyeruak dunia filsafat semenjak Perang Dunia II (Sutrisno : 1987). Diantara para tokohnya adalah Heidegger, Gabriel Marcel, Nietsze, Kieerkegaard, Sartre, Jaspers, dan Levinas. Yang dianggap bapak Eksistensialisme adalah Soren Kiekeergaard.
Dalam perkembangannya eksistensialisme, Sartre memetakannya ke dua kubu. Pertama adalah kubu Katolik seperti Jaspers dan Marcel yang bergerak menuju Tuhan. Kubu lainnya adalah eksistensialis ateis yaitu Sartre, Heidegger, dan eksistensialis Perancis lainnya (Bertens :1987) .
Tetapi ada kesamaan dalam pemikiran kaum eksistensialis itu, yaitu :
1.      Motif pokoknya adalah eksistensi, cara khas manusia berada. Pusat perhatian adalah manusia.
2.      Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan. Manusia, setiap saat, selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Tidak ada 'state of being'.
3.      Manusia dipandang terbuka, sebagai realitas yang belum selesai. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitar, terutama kepada sesama manusia
4.      Memberikan tekanan pada pengalama eksistensial kongkrit manusia misalnya kepada kematian, penderitaan, kesalahan, perjuangan. (Hadiwijono : 1980).
 
Sebagai pembetuk aliran eksistensialisme Jean Paul Sartre  mengemukakan metode yang digunakan adalah metode fenomenologi realistik. 
Fenomenologi sediri adalah kajian terhadap fenomena dan apa – apa yang nampak. Lorens Bagus megartiak fenomeologi adalah kajian ilmu tentang segala gejala gejala yang nampak dan menampakan diri pada kesadaran kita. Fenomenologi adalah studi yag mempelajari manusia sebgai fenomena ( Edmund Husser ). 
Fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu – individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya melalui kegiatan komunikasi langsung atau komunikasi dalam dialog. Sebagai mana kodratnya, manusia selalu beriteraksi dengan manusia lain. tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungannya. Sehingga tidak salah lagi jika sartre menguakan metode ini pada eksistensialisme. Dengan metode ini eksistensialisme dapat memaknai dan mengartikan hidupnya sendiri  dengan cara berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama manusia  di dunia.
             Aspek yang aksiologi berhubungan dengan nilai (etika dan estetika).  Seperti pada dasarnya nilai itu bersifat objektif dalam arti lain bertitik tumpu pada objeknya, pada aliran eksistensialisme manusia adalah objek penilaian dengan subjek sebagai standar dan tolak ukur penilaian.
             Seperti yang telah disampaikan sebelumya eksistensialisme memberi kebebasan individu dalam menentukan eksistensi atau pencapaian dirinya sehinngga nilai untuk seorang individu berobjek pada individu lain dan bersubjek kepada dirinya. Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap subjek menimbulkan penilaian yang berbeda pada setiap objek. Eksistensialisme memegang etika sebagai tuntunan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti orang lain. Nilai  keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya ( Sikun Pribadi ).
             Penerapan eksistensialisme dalam dunia pendidikan adalah membantu manusia secara individual dalam arti lain membantu individu secara langsung untuk mencapai eksistesinya dii dunia dengan cara mencari minat dan bakat individu dengan kegiatan aktivitas dan tidak memugkiri perbedaan pengalaman dan kebiasaan individu.
             Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individulitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1671) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat dengan pendidikan karena keduanya bersinggungan satu sama lain pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan).
             Dengan perubahan kurikulum tingkat satuan pendidikan menjadi kurikulum pendidikan karakter atau biasa disebut sebagai kurikulum 2013 yang merevisi kurikulum sebelumnya menjadi lebih memfokuskan pada proses perkembangan siswa dalam sikap afektif dan psikomotor, sikap kognitif tentu saja tidak di lupakan, sehingga pendidikan di sekolah lebih di fokuskan pada budi pekerti dan hasil pembelajaran.
             Guru di tuntut untuk dapat memanfaatkan dan menggunkan sumber dan media pembelajaran sebaik mungkin. Pemanfaatan media dan sumber pembelajaran dengan sebaik mungkin dapat menstimulus siswa untuk kreatif dan mengeksplorasi sendiri tema pembelajaran yang di berikan guru, dengan demikian siswa dapat lebih mandiri dan lebih memahami tema, dibandingkan dengan metode kurikulum tingkat satuan pendidikan yang hanya memanfaat kan guru sebagai media dan sumber pembelajaran. Siswa diwajibkan berandil langsung dalam proses pembelajaran bukan hanya mendengarkan ceramah guru di depan kelas.
             Bimbingan guru tidak hanya berada didalam kelas tetapi guru harus ekstra mengontrol proses pembelajaran siswa di lingkungan pendidikan khususnya dan di lingkungan masyarakat pada umumnya, maka dari itu guru harus berkerja sama dengan orang tua murid agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Memegang teguh konsep kebebasan, siswa dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya tapi tidak serta merta membebaskan siswa, guru tetap berandil penuh dalam pembentukan karakter siswa. Guru memandang siswa sebagai individu yang aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkunganna, guru harus mampu mentradisikan metode ini pada siswa yang berfungsi sebagai proses pemandirian siswa dalam belajar.
             Eksistensi individu muncul ketika siswa dapat megekspresikan dirinya dan ekspresi dapat muncul pada siswa ketika siswa berminat pada suatu kasus pembelajaran. Pada minat inilah siswa akan semangat mengikuti proses pembelajaran sehingga munculah bakat sedikit demi sedikit, seperti contoh anak yang tidak bisa bermain sepak bola tetapi dia sering memperhatikan teman temannya bermain sepak bola maka dengan sendirinya ia menyentuh bola, bermain sepak bola, bermain setiap hari karena ia senang dan merasa bebas saat bermain sepak bola bersama kawan – kawannya, semakin lama anak itu semakin lincah bermain sepakbola, tak lama kemudian munculah bakatnya sebagai pemain sepakbola. Seperti ini lah konsep pembelajaran yang harus diterapkan guru pada siswanya sehingga timbulah bakat dan eksistensinya. 
             Eksistensi  siswa akan muncul dan kemampuan bakat akan terasah dengan sendirinya karena konsep eksistensi mengutamakan minat tanpa pemaksaan kepada siswa sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan dirinya dengan bebas tetapi tetap pada nilai etika dan estetika yang berlaku di masyarakat. 
“Faire, et en faisant, se faire” (untuk dilakukan, dan dalam proses melakukan, untuk menjadi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar