Minggu, 13 Juni 2021

 BATU BRIKET "Si Hitam Yang Terlupakan"

 

   Briket Batubara adalah bahan bakar padat yang terbuat dari Batubara dengan sedikit campuran seperti tanah liat dan tapioka. Briket Batubara mampu menggantikan sebagian dari kegunaan Minyak Tanah sepeti untuk : Pengolahan Makanan, Pengeringan, Pembakaran dan Pemanasan

Manfaat Briket batubara
• Pemasok Bahan Bakar Yang Potensial dan
Dapat Dihandalkan Untuk Rumah Tangga dan Industri Kecil
• Sumberdaya Energi Yang Mampu Menyuplai Dalam Jangka Panjang
• Pengganti BBM/Kayu Bakar Dalam Industri Kecil dan Rumah Tangga 
• Merupakan tempat penyerapan tenaga kerja yang cukup berarti baik di pabrik briketnya, distributor, industri tungku, dan mesin briket dsbnya.
• Merupakan bahan bakar yang harganya terjangkau bagi masyarakat pada daerah-daerah terpencil. 
• Memberikan sumber pendapatan kepada penyuplai bahan baku briket seperti batubara, tanah liat, kapur, serbuk biomas, dsbnya.
• Sebagai wadah pengalihan teknologi dan keterampilan bagi tenaga kerja Indonesia baik langsung maupun tidak langsung.
• Menghasilkan briket batubara yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan UKM dalam kebutuhan energinya yang akan terus meningkat setiap tahunnya

 

Keunggulan Briket Batubara.

1.    Relatif murah

2.    Mempunyai daya bakar yang sangat tinggi (panas)

3.    Resiko terjadinya kecelakaan relatif lebih kecil (dibandingkan dengan kompor minyak tanah)

4.    Tenaga panas yang dikeluarkan tidak berisik dan berjelaga

5.    Bahan batubara sangat melimpah ruah di Indonesia

Tingkat perbandingan untuk pemakaian Minyak Tanah dengan Briket batubara

 




Manfaat batu briket ini sebagai alternatif pengganti bahan bakar atau arang.

Mari kita berdayakan alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan agar bumi tidak sesak dengan segala polusi yang manusia hasilkan.



Penyususn:

 M. Daffa a

Pramesthi

Hasna navisa

Dea dwi 

Ananti nurmala

Choirunnisa

Nurrohmah mutia


 

 

 

MARI TINGKATKAN KEPEDULIAN TERHADAP KESEHATAN LINGKUNGAN

 

        Kesehatan lingkungan adalah suatu ilmu dan seni dalam mencapai keseimbangan antara lingkungan dan manusia, ilmu dan juga seni dalam pengelolaan lingkungan sehingga dapat tercapai kondisi yang bersih, sehat, nyaman dan aman serta terhindar dari gangguan berbagai macam penyakit.

Ilmu Kesehatan Lingkungan mempelajari dinamika hubungan interaktif antara kelompok penduduk dengan berbagai macam perubahan komponen lingkungan hidup yang menimbulkan ancaman/berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat umum.       

Yang pertama untuk melakukan Koreksi, memperkecil/memodifikasi terjadinya bahaya dari lingkungan terhadap kesehatan serta kesejahteraan hidup manusia. Lalu yang kedua untuk pencegahan, mengefisienkan pengaturan berbagai sumber lingkungan untuk meningkatkan kesehatan dan juga kesejahteraan hidup manusia serta untuk menghindarkan dari bahaya penyakit.

Adapun tujuan kesehatan lingkungan yang diantaranya yaitu:

  • Melakukan korelasi, memperkecil terjadinya bahaya dari lingkungan terhadap kesehatan serta kesejahteraan hidup manusia.
  • Untuk pencegahan dengan cara mengefisienkan pengaturan berbagai sumber lingkungan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia serta untuk mencegah dari bahaya penyakit.

 

Manfaat kebersihan lingkungan:

1.Terhindar dari penyakit yang disebabkan lingkungan yang tidak sehat.

2. Lingkungan menjadi lebih sejuk.

3. Bebas dari polusi udara.

4.Air menjadi lebih bersih dan aman untuk di minum.

5.Lebih tenang dalam menjalankan aktifitas sehari hari. 

Mari kita tingkatkan kepedulian terhadap kesehatan lingkungan. Mulailah dari sendiri dan sebarkan kepada orang sekitar. 




Penyusun :

M. Daffa a

Pramesthi

Hasna navisa

Dea dwi 

Ananti nurmala

Choirunnisa

Nurrohmah mutia

 

 


 

Kamis, 12 Januari 2017

Filosofi Pohon Pisang

Sebatang pohon pisang tumbuh di atas tanah, ia hanyalah pohon seperti tumbuhan yang lain. Pohon ini hanya tumbuh mengikuti hukum alam ketentuan Tuhan. Sepintas ia hanyalah pohon biasa yang tak ada kelebihan yang menarik perhatian sebagaimana sekuntum bunga yang mengundang kupu-kupu yang cantik untuk hinggap menghisap sarinya. Namun, tidakkah kita perhatikan hal berikut ini?

Pohon pisang sebenarnya memiliki kehebatan yang dapat kita teladani. Pertama, pohon pisang itu dalam proses bertumbuh, jika ditebang sampai putus batangnya, maka ia akan tumbuh lagi persis dari pusat batangnya. Tak peduli berapa kali ia dibabat batangnya sampai putus sekalipun, ia tetap tumbuh dan tumbuh lagi sampai dewasa dan berbuah. Ini seharusnya memberi ilham kepada kita yang diberi akal yang cerdas sebagai manusia--makhluk yang paling sempurna--agar bisa meniru tabiat alami si pohon pisang tersebut.

Yang namanya kehidupan, pasti penuh cobaan/ujian, sering jatuh bangun, suka duka silih berganti, dan kadang gagal berkali-kali. Mengetahui fenomena ini, sudah seharusnyalah kita bisa mencontoh tabiat si pohon pisang ini. Sesering atau separah apapun kita terjatuh (baca: gagal), maka seperti si pohon pisang, kita harus bertumbuh lagi, bangkit dengan semangat yang lebih dahsyat. Tak peduli berapa kali kita ditebang oleh kegagalan lalu tumbang, maka sebanyak itu pula kita bangkit dan tumbuh lagi. Janganlah kita berhenti bertumbuh hanya karena sebuah kegagalan, tapi jadikan kegalan itu sebuah proses pemelajaran untuk meraih keberhasilan yang leibh dahsyat. Selama tubuh kita masih bernafas, selama itu pula sukses masih bisa kita raih. Seperti langit yang gelap gulita ditelan malam, pasti esok hari mentari akan bersinar lagi…, pasti!!!
Kedua, ternyata pohon pisang itu baru akan mati setelah ia berbuah, memberikan yang terbaik untuk kehidupan. Ini sungguh luar biasa…! Hal inilah yang seharusnya kita renungkan dalam-dalam. Kita sebagai manusia yang berakal dan sempurna, sudahkah kita renungkan…, apa yang sudah kita berikan untuk kehidupan ini? Apa yang sudah kita berikan untuk keluarga, lingkungan, masyarakat, bangsa, dan negara [sebelum kita meninggalkan dunia ini ?

Pohon pisang hidup untuk berbuah dan mati setelah meninggalkan manfaat. Jika kita bisa hidup seperti itu, tentu kita adalah pahlawan sejati. Namun kita sering lupa, banyak dari kita yang lupa diri dalam mengejar dunia, terlalu memikirkan diri sendiri, kesenangan dan kemakmuran diri sendiri, sampai-sampai kadang melupakan orang lain yang membutuhkan sesuatu yang bisa kita berikan. Banyak sekali orang lain di negeri kita tercinta ini yang nasibnya kurang beruntung dan membutuhkan uluran tangan kita. Bangsa ini pun merindukan bangkitnya manusia-manusia unggulan yang bisa membawa negeri ini menuju negeri yang aman, makmur, adil, dan sejahtera. Konon katanya negeri kita “gemah ripah loh jinawi”, seharusnya rakyatnya pun juga makmur berkelimpahan. Mungkin itu yang harus menjadi perjuangan kita bersama.

Dan pada kenyataannya hidup kita akan berakhir, itu adalah hal yang pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka sesuatu yang berharga yang akan dan atau telah kita berikan untuk kehidupan inilah yang bisa memberikan kenangan nan indah penuh makna bagi generasi penerus kita, bukannya apa yang kita ambil dari kehidupan ini untuk menikmati masa hidup kita yang sementara. Sebagaimana harimau mati meninggalkan belang, rusa mati meninggalkan tanduk, dan gajah mati meninggalkan gading, maka kitalah yang menentukan apa yang akan kita tinggalkan. Apakah kita ingin nama kita akan tetap hidup dengan keharumannya walau kita sudah tiada, ataukah justru sebaliknya…, pilihan ada di tangan kita!

Pohon pisang saja mati setelah berbuah, bagaimana dengan kita sebagai manusia?

Filosofi "Cermin"

Ketika berdiri dihadapan cermin, Anda bisa melihat kekurangan, membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di muka. Bisa memperbaiki penampilan Anda, memperbaiki baju, menyisir rambut, dan seterusnya. Bahkan terkadang Anda berkali-kali melihat ke cermin, hanya sekedar meyakinkan diri Anda sebelum pergi.
Tahukah Anda wahai saat saudaraku, bahwa dalam kehidupan ini, kita adalah sebuah cermin. Ya! saya, Anda, kita.

Nabi kita Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang mu’min merupakan cermin bagi saudara mu’min yang lain.” (HR. Imām Bukhari dalam kitab Adabul Mufrād dan Imam Bayhaqi dalam Syu’abul Imān, hadits hasan)

Ini adalah permisalan yang agung dan sangat menakjubkan tentang nasehat-menasehati, saling mengingatkan antara kita dengan saudara kita
Cermin. Bukan hanya sekedar memberitahukan dimana letak kekurangan, kesalahan atau kotoran yang menempel di wajah. Tetapi cermin juga menjadi tempat kita untuk memperbaiki diri.

Cermin. Saat Anda meninggalkannya, tidak pernah mengingat kembali aib, cacat atau kotoran yang ada padamu. Jika orang lain setelah anda berdiri memakai cermin itu, dia tidak akan pernah bercerita bagaimana kamu dan apa kotoranmu. Dia tidak akan bercerita “Si fulan seperti ini dan itu.” Begitu pulalah kita sebagai seorang mu’min.

Seorang mu’min, dengan tulus, tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan apa-apa akan menunjukkan kepada kita kesalahan dan kekurangan saudaranya sesama mu’min.

Lalu kita ingatkan, nasehati, dan tidak perlu menceritakan kepada muslim yang lain, cukup hanya Anda yang tahu aib-aib saudara kita.

Bercermin dengan menyendiri, tidak perlu mengingatkan seseorang dihadapan banyak orang, atau mengingatkan seseorang dengan keras dan kasar. Dia mengingatkan dengan lembut, hanya antara engkau dan cermin.

Begitu seharusnya kita memberi nasehat kepada saudara kita sesama muslim, dengan lembut, santun dan rahasia, tidak perlu orang lain tahu karena kita hanya mengharap balasan dan pahala dari Allāh ‘Azza Wa Jalla dan menginginkan agar saudara kita itu memperbaiki diri.

Mari kita menjadi cermin bagi mu’min satu dengan yang lainnya.


 Ust. Abu Zubair Hawary

CERITA MOTIVASI DARI SEORANG FILSUF SOMBONG

Filsuf Yang Sombong
Ada seorang filsuf yang menaiki sebuah perahu kecil ke suatu tempat. Karena merasa bosan dalam perahu, kemudian dia pun mencari pelaut untuk berdiskusi.
Filsuf menanyakan kepada pelaut itu: ” Apakah Anda mengerti filosofi?”
“Tidak mengerti.” Jawab pelaut.
“Wahh, sayang sekali, Anda telah kehilangan setengah dari seluruh kehidupan Anda.
Apakah Anda mengerti matematika?” Filsuf tersebut bertanya lagi.
“Tidak mengerti juga.” Jawab pelaut tersebut.
Filsuf itu, menggelengkan kepalanya seraya berkata:
“Sayang sekali, bahkan Anda tidak mengerti akan matematika.
Berarti Anda telah kehilangan lagi setengah dari kehidupan Anda.”
Tiba-tiba ada ombak besar, membuat perahu tersebut terombang-ambing. Ada beberapa tempat telah kemasukan air, Perahu tersebut akan tenggelam, filsuf tersebut ketakutan.
Seketika, pelaut pun bertanya pada filsuf: ” Tuan, apakah Anda bisa berenang?”
Filsuf dengan cepat menggelengkan kepalanya dan berkata: “Saya tidak bisa, cepat tolonglah saya.”
Pelaut menertawakannya dan berkata: “Berenang Anda tidak bisa, apa arti dari kehidupan Anda? Berarti Anda akan kehilangan seluruh kehidupan Anda.”
**CERITA SINGKAT..
(Semua orang sebenarnya memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Bangga atas prestasi itu wajar saja, tetapi jangan sampai membuat diri sendiri menjadi sombong maupun angkuh akan prestasi tersebut. Ingatlah, selalu ada yang lebih pintar dari kita. Dan kita juga masih perlu belajar dari kelebihan orang lain.)

BERFILSAFAT, HARUSKAH MELEPAS AGAMA?

Benarkah kalau mau berfilsafat yang benar harus melepaskan keagamaan kita ? Jawabannya : Tidak harus ! Mengapa ? Karena, berfikir kritis dan bisa berfilsafat secara benar juga bisa dilakukan oleh mereka yang masih beragama. Sebaliknya, tidak ada jaminan bahwa mereka yg tidak beragama atau melepaskan agama secara otomatis dapat berfikir kritis dan berfilsafat dengan benar pula. Berfilsafat, adalah lebih pada masalah kemampuan berfikir filsafat yang dimiliki oleh seseorang.
Jadi, apa masalahnya ? Pahami dulu apa yang dimaksud dengan agama oleh mereka yang menganggap agama itu tidak perlu ada dalam filsafat. Mengapa harus dipahami ? Ya, karena bisa jadi, apa yg dipahami oleh mereka tentang agama, sehingga harus dilepaskan itu adalah berbeda dengan dengan apa yang dipahami oleh orang lain, termasuk oleh mereka yang dikritisi itu. Bukankah, Tuhan sendiri menantang manusia untuk berpikir kritis dan membuat tandingan atas kata-kata Tuhan ?
Masalah filsafat, adalah bagaimana kita mampu berfikir kritis tentang banyak hal secara mendasar. Bagaimana kita mampu berfikir sesuai nalar yang logis, analitis dan sistematis yang kira-kira dapat diterima oleh para pemikir filsafat lain sebagai sesuatu yang sesuai dengan standar berfikir filsafat. Masalah berfilsafat adalah bagaimana kita mampu mengembara secara nalar untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya atas sesuatu yang kita pikirkan atau atas apa yang ada dibalik suatu pengetahuan tertentu.
Tentu saja, karena sifatnya yang kritis dan mendasar, maka berfikir filsafat haruslah siap untuk mempertanyakan segala sesuatu yang selama ini dianggap telah disepakati atau dianggap sebagai sebuah kebenaran. Kita jangan langsung percaya atas asumsi atau pengetahuan yang telah dianggap sudah umum diketahui. Justru, kita harus membongkarnya habis-habisan, kemudian melakukan kritik, menguji kesahihannya berdasarkan pijakan logika nalar manusia.
Nah, masalah berikutnya, adalah bahwa manusia hidup tidak selalu harus menjadi filsuf, sebagaimana halnya Hegel, Imanuel Kant, Bertrand Russel, Aristoteles, Plato, Socrates, Ibnu Ruysd dan lain-lain. Mengapa ? Karena, masih banyak “profesi” lain yang telah menunggu agar dunia ini menjadi seimbang. Perlu ada pemikir filsafat, perlu juga saintis, akademisi, teknisi, disainer, karyawan, buruh, pemain bola, pengurus jenazah, penyanyi, tukang gali kubur, juga pak “Haji” tukang berdoa saat ada acara-acara sosial tertentu.
Lalu, apa masalahnya filsafat dengan agama ? Tidak ada masalah. Bahwa bagi mereka yang mau berfilsafat, ya silakan saja. Bagi mereka yang mau berfilsafat dengan melepas agama ya silakan juga. Bagi mereka yang berfilsafat dengan tidak beragama, silakan juga. Dan, bagi mereka yang mau beragama tanpa harus berfilsafat, tentu silakan saja. Lalu, apa masalahnya ? Masalahnya, adalah jika masing-masing pihak menganggap dirinya paling benar kemudian menganggap pihak lain adalah bodoh dan …..
Meski berfilsafat itu penting, namun tidak harus ada anggapan bahwa beragama yang baik haruslah terlebih dahulu menjadi seorang ahli filsafat, atau ikut berfikir secara filsafat. Bukankah, para sahabat nabi pun tidak banyak yang tahu tentang filsafat, namun penghayatan keagamaanya justru lebih baik ? Karena, memang agama hakikatnya bukanlah filsafat, namun soal penghayatan spiritual, soal pesan-pesan moral, juga sebagian berupa petunjuk praktis dalam hidup. Meski demikian, agama pun bisa didekati dari cara berfikir filsafat. Bukankah Bilal, sahabat Nabi, hanya tahu Islam itu adalah AHAD, sama sekali tidak kenal filsafat, namun siapa yang berani katakan bahwa Bilah tidak memahami Islam secara baik ?
Saya sendiri berpendapat, bahwa filsafat itu diperlukan bagi mereka yng ingin memahami suatu hakikat pengetahuan yang lebih mendasar dan utuh atas sesuatu dibalik pemahaman agama atau pemahaman apapun yang telah ada di masyarakat.Bahwa ada pencerahan dari cara berfikir filsafat. Bahwa ada kritik sosial yang mengena, agar seseorang lebih memiliki kesalehan secara sosial, di samping kesalehan ritual (pribadi).
Namun, penghayatan atas agama sangat ditentukan oleh masing-masing orang sesuai dengan kadar dan kepuasan spiritualnya masing-masing. Ada yang cukup ikut mengaji pada ustadz, ada yang cukup dengan apa yang didapat dari bangku sekolah atau madrasah. Ada yang cukup setelah membaca sekian banyak buku, ada yang cukup setelah ikut berdiskusi dan berdebat kian kemari.
Ada yang cukup ketika telah berfikir filsafat ke sana ke sini, bongkar sana bongkar sini. Ada yang merasa cukup setelah mengalami sendiri sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagi dirinya sendiri, dan lain-lain. Dan, ada yang juga tidak cukup-cukup saja setelah melanglangbuana kemana-mana, bahkan setelah melepas agamanya sekalipun. Mungkin, waktu saja yang akan menentukannya. Mungkin, ada juga yang tidak cukup selamanya hingga dibuat “bingung” berketerusan hingga akhir hayatnya.
Dalam kaitan ini, maka berfilsafat perlu proporsional, bahwa sejatinya filsafat bukanlah demi filsafat sendiri. Namun, sebagaimana bidang pemikiran manusia yang lain, seperti ilmu agama, sains, teknologi, seni dan lain-lain, maka filsafat pada akhirnya haruslah demi kemanusiaan itu sendiri. Bahwa dengan filsafat, ada hal yang dapat disumbangkan secara positif terhadap kemajuan kemanusiaan. Tentu, bukan berlaku sebaliknya, malah melahirkan hal-hal lain yang anti kemanusiaan.
Bahwa masih banyak hal yang menunggu peran aktif siapapun, termasuk kaum filsuf, untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan bersama yang bersifat universal, antara lain masalah pangan, masalah kemiskinan, masalah lingkungan, masalah energi, masalah kekerasan, masalah ketidakadilan, masalah HAM, dan lain-lain. Menurut saya, justru masalah-masalah inilah yang mendesak kita bersama, para filsuf, saintis, akademisi, teknisi, politisi, karyawan, buruh, tukang becak, pelajar, mahasiswa, penulis, kaum beragama atau kaum tidak beragama, dan lain-lain, untuk turut aktif dalam memecahkan masalah kemanusiaan universal secara bersama-sama pula.
Bahwa, kini bukan saatnya lagi, atas nama apapun untuk menyarankan kekerasan, atau memberikan penghinaan kepada pihak lain yang dianggap berbeda. Tentu, kita punya cara-cara lain yang dianggap lebih elegan dan manusiawi, serta lebih bermartabat dan beradab. Dan, saya kira untuk inilah salah satunya manfaat dari berfilsafat (aspek aksiologis filsafat), yakni bagaimana kita dapat membangun sebuah hubungan antar manusia yang lebih adil dan beradab.
Bagaimana dengan pendapat Anda ?
Demikian, terima kasih

DARI RAGU MENUJU TAHU

Imam Ghazali pernah menderita keraguan ketika  menjadi guru besar yang paling tersohor di universitas Nidhamiyyah. Kayu yang lurus  dimasukkan ke dalam air terilah bengkok. Bayang-bayang yang tampaknya diam itu ternyata  bergerak. Dari kasus itu ia menjadi ragu terhadap prestasi semua cabang ilmu (hukum/fikih, teologi/ilmu kalam, dan filsafat) melalui tasawuf, ia menemukan ilmu yang terang benderang.  Senior Ima a-Ghazali, Abu Hasan a-Asy’ari menjadi  ragu dalam ilmu kaam. Tuhan itu bersifat atau  tidak bersifat. Semula mengikuti paham Tuhan itu tidak bersifat,  setelah bertafakkur selama 40 hari ia merasa  menemukan kebenaran (pengetahuan) bahwa  Tuhan itu bersifat. Sifat berbeda dari dzat, tetapi  sifat bukan sesuatu yang lain dari dzat.  Filosof Barat, Rene Descartes, meragukan dirinya  ada atau tiada. Ketika meragukan segala sesuatu  tentang diri dan ia merasa ragu, atau benar-benar  meragukannya, yang paling tidak meragukan  adalah ia berpikir bahwa dirinya ragu. Dari sini  berkesimpulan bahwa dirinya ada karena dipirkan. Untuk itu ia mengatakan bahwa aku ada karena aku berpikir (cogito ergo zum) Jauh sebeum Descartes, Imam Abu Hasal alAsy’ari, dan Imam a-Ghazali, al-Farabi telah  menyusun teori orang terbang atau teori orang menggantung.

-          Orang tanpa busana, tidak ada anggota tubuh yang saling bersentuhan, dan tak ada anggota  tubuh yang bersentuhan dengan sesuatu di luar  tubuh. Pada saat demikian ini, pasti sadar bahwa  dirinya ada. Ini membuktikan bahwa jiwa itu ada.  Dari segi teori pengetahuan, ia menjadi tahu bahwa dirinya ada, artinya pengetahuan itu mungkin.