Kamis, 12 Januari 2017

Pendidikan Islam Berbasis Multikultural

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan. Sehingga nantinya perbedaan tersebut tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah yang nantinya akan menjadikan keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk dilestarikan.
Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain, dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan diantara pihak-pihak yang terlibat, anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain  akan melahirkan fasisme, nativisme dan chauvinism, dengan dialog, diharapkan terjadi sumbang pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan sehingga nantinya terwujud masyarakat yang makmur, adil, sejahtera yang saling menghargai perbedaan.
Sejarah Pendidikan Multikultural
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an.
Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Refleksi Tentang Pendidikan Multikultural
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia, karena dengan pendidikan manusia membentuk kepribadian yang berkualitas. Pendidikan tidak hanya bisa dilakukan didalam lembaga pendidikan (sekolah) namun pendidikan juga bisa dilakukan diluar sekolah dan tanpa batas waktu atau berlangsung seumur hidup.
Berbagai masalah yang timbul di negara kita, Indonesia, banyak dikarenakan adanya ketidakberagaman budaya yang memang pada dasarnya Indonesia adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain. Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya.
Pengertian Pendidikan Multikultural
Multikultural berasal dari dua kata yaitu Multi dan Kultul, multi artinya banyak dan kultul artinya budaya.
Menurut para ahli
  1. Gibson(1984) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu proses pendidikan yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki.
  2. Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya adalah pendidikan yang bersifat anti rasis, yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia, yang penting bagi semua murid, yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan, mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan social, yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
  3. Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur). Secara lebih singkat Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keragaman budaya. Menurut James. A. Banks pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup pengalaman sosial identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
  4. Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Pendidikan Multikulturalis adalah pendidikan yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural.
  5. Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan demi secara keseluruhan.
  6. Sedangkan Musa Asy’ari juga menyatakan bahwa  pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Multikultural adalah berbagai macam status social budaya meliputi latar belakang, tempat, agama, ras, suku dll.
Jadi pendidikan multikultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
 Untuk membentuk warga negara yang berpendidikan multikultural tidaklah mudah, banyak tahap dan prosedur yang harus dilaksanakan dalam membentuk masyarakat yang berpendidikan multikultural Indonesia, antara lain:
1.  Menyiapkan materi atau kurikulum pelajaran yang mengagungkan perbedaan budaya.
2.  Menyiapkan kurikulum yang mempelajari tentang budaya suku lain mulai dari tari tradisional, sastra, hasil kerajinan suku lain di Indonesia dan lain-lain.
3.   Menyiapkan kurikulum yang tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
4.   Menyiapkan materi yang berasaskan nilai moral untuk menanamkan sikap menghargai orang, budaya, agama dan keyakinan lain.
5.  Membangun monumen maupun museum disetiap daerah untuk dijadikan penelitian budaya daerah tersebut dan dapat dijadikan tambahan bahan acuan materi pelajaran
6.   Membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk memproduksi hasil kerajinan tangan yang menjadi ciri khas budaya daerah.
7.  Pemerataan pendidikan multikultural untuk sekolah baik dari lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta bahkan untuk sekolah-sekolah internasional yang mempunyai kurikulum sendiri yang mengacu pada kurikulum negara lain.
8.   Pemerataan pendidikan multikultural bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa meliat status sosialnya.
9.   Mengembangkan potensi peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan sosial budaya dengan kemajuan IPTEK.
10.           Mempercepat proses hak paten semua hasil kebudayaan agar tidak diklain negara lain dan sebagainya.
11.           Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
12.           Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
13.           Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
14.           Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
15.           Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Hal-hal seperti diatas tidak lepas dari campur tangan pemerintah RI agar dapat berjalan lancar dan membawa hasil positif dan dapat membawa dampak yang baik (kemajuan) bagi bangsa.
Pengembangan Pendidikan Islam Berbasis Multikultural
Pengembangan pendidikan Islam, dalam arti i’adah,  ibanah dan ihya dengan maksud reaktualisasi, revitalisasi, refungsionalisasi dan reevektifity sesungguhnya telah lama dirintis dan diupayakan oleh banyak pihak. Berbagai model pengembangannyapun telah banyak digagas, namun berbagai ikhtiyar tersebut hingga kini belum sepenuhnya mencapai tujuan sebagaimana diharapkan. Pada ranah empiris, implementasi pendidikan Islam baik di sekolah maupun di perguruan tinggi belum banyak memberikan implikasi signifikan terhadap perubahan prilaku peserta didik, padahal salah satu tujuan utama pendidikan Islam adalah terjadinya perubahan baik pola fikir (Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pada peserta didik.
Tingginya angka dekadensi moral dan prilaku tercela seperti free seks, miras, narkoba, kekerasan, tawuran, eksklusifisme, kurangnya toleransi dan penghargaan terhadap orang lain dalam segala bentuknya yang melibatkan siswa dan mahasiswa merupakan indikator nyata dari belum efektifnya fungsi pendidikan Islam yang selama ini dijalankan. Maka tak heran jika pada akhirnya banyak orang mempertanyakan sejauhmana efektifitas pendidikan Islam bagi peningkatan kesadaran dan perubahan prilaku peserta didik baik secara individual maupun sosial kultural. Pertanyaan ini wajar mengingat secara teoritis, pendidikan diyakini sebagai sistem rekayasa sosial yang paling berpengaruh mewarnai, mengontrol dan membentuk pola fikir dan prilaku seseorang dalam hidup kesehariannya.
Diantara model pengembangan pendidikan Islam yang telah dirintis oleh sejumlah pakar adalah model pengembangan berbasis multikultural, yakni sebuah model pengembangan yang fokus pada pentingnya penghormatan terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan paedagogis terhadap semua orang (equal for all) yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan, serta penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan masyarakat yang adil sehingga terwujud suasana toleran, demokratis, humanis, inklusif, tentram dan sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun etnik, status sosial, agama dan jenis kelaminnya. Pendidikan Islam berbasis multikultural adalah proses penanaman sejumlah nilai islami yang relevan agar peserta didik dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya
Model ini dianggap relevan dengan ajaran Islam dan entitas keberadaan masyarakat Indonesia yang multikultur.  Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama, hal ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).  Bahkan jauh sebelum adanya istilah multikultural ini, secara konseptual dan realitas sejarah, Islam adalah agama yang terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah, Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad saw memelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan kebebasan beragama dalam perspektif Islam di Kota Jerusalem, tahun 636 M.
Disisi lain, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi multikultural terbesar di dunia, menyadari hal itu, guna merekatkan keragaman yang ada, sekaligus menghindari  deviding factor dari berbagai keragaman tersebut, para pendiri bangsa perlu mengadaptasi dan menetapkan konsep Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa yang terdapat dalam buku Sotasoma karya Empu Tantular sebagai paradigma dan cara berprilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari konteks ini maka pendidikan Islam diharapkan dapat menjadi  salah satu pilar penyangga bagi kerukunan umat yang beraneka ragam (uniting factor), sehingga tidak saja berfungsi sebagai fondasi integritas nasional yang kokoh tetapi juga menjadi fondasi pengayom keberagaman yang hakiki.
Multikulturalisme sejatinya bukan wacana baru, ia telah muncul pasca perang dunia II dan semakin mendapat respon dari masyarakat terutama di negara-negara yang menganut konsep demokratis termasuk Indonesia tatkala terjadi berbagai bentuk ketidak adilan dan diskriminasi atas sejumlah masyarakat baik secara individual maupun institusional, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan bahkan agama. Di barat, gerakan multikultural awalnya dipelopori oleh John Stuart (asal Prancis), dan dilanjutkan oleh Charles Taylor (asal Kanada) tatkala lembaga pendidikan mendapat sorotan tajam karena telah gagal menghargai identitas budaya dari warga negaranya. Sistem dan lembaga pendidikan kemudian dituntut untuk melakukan rekonstruksi konsep yang sebelumnya sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah demokratik transparan berbasis partisipatoris, dari sinilah pendidikan multikultural mulai berkembang pesat.
Di tanah air, perkembangan pendidikan multikultural tidak dapat  dilepaskan dari peran penting  Ki Hajar Dewantoro, dalam salah satu tulisannya, beliau menyebutkan bahwa tidak ada warga negara yang kelas satu atau kelas dua, semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pendidikan. Mereka memiliki kebebasan untuk berekspresi serta bebas dalam menetukan dalam pendidikan. Karena itu dinyatakan dengan tegas bahwa pendidikan multikultural  adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama  dan budaya yang dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala perbedaan demi terciptanya tatanan masyarakat demokratis, pluralis, humanis dan inklusif.
Masalah krusial yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah lemahnya rasa kebangsaan, persatuan dan kebersamaan di sementara kalangan, kasus-kasus masa lalu dan masa kini yang berkisar pada konflik etnis, agama, kewilayahan dan politik vertikal horizontal merupakan contoh nyata gejala yang memprihatinkan  ini, karena itu diperlukan upaya sistematik untuk membangun kesadaran pluralistik dan multikulturalistik pada seluruh lapisan masyarakat. Sangat mendesak “membumikan” pendidikan Islam berwawasan multikultural, sebab kesadaran akan pentingnya kemajemukan dan multikulturalisme diharapkan dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.
Kesadaran diatas pada gilirannya akan menghantarkan  masyarakat pada tahap kedewasaan sikap yang dengan lapang dada menerima keanekaragaman sebagai sunnatullah. Keterbukaan kepada yang lain (an openees towards the other) pada gilirannya selain memberi arahan untuk membangun suatu sikap, etos dan  pandangan dunia yang egaliter guna membentuk horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling menghargai keberadaan yang lain, juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan keselamatan dan kebahagiaan sejati.
Terdapat ragam redaksi tentang definisi pendidikan multikultural, tetapi intinya bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang melatih dan membangun karakter peserta didik agar memiliki sikap demokratis, humanis, dan pluralis serta berpandangan positif dan apresiatif menyikapi perbedaan-perbedaan kultur menyangkut etnis, agama, bahasa, gender, ras, kelas sosial, usia, dan sebagainya menjadi sesuatu yang lebih potensial di masyarakat sehingga terjadi pengurangan atau penghapusan berbagai bentuk diskriminasi dan  prejudis demi membangun kehidupan masyarakat yang adil dan tenteram.
Pendidikan multikultural sejatinya merupakan wacana lintas batas, sebab ia  terkait erat dengan masalah-masalah keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia. Minimal terdapat tiga nilai yang menjadi dasar pendidikan multikultural yakni :  Apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat, Pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia,  dan  Pengembangan masyarakat dunia yang adil dan egaliter. Tujuan utamanya  adalah untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, serta bagaimana perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah (sunnatullah), dan tidak menimbulkan tindak diskriminasi yang termanifestasi pada pola sikap iri, buruk sangka dengki dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan Islam berwawasan multikultural dapat diterapkan melalui : orientasi muatan kurikulum dan orientasi  reformasi unit pendidikan. Pada orientasi  muatan kurikulum, dapat dimasukkan materi-materi tentang : (1) keragaman (agama, etnik dan kultur masyarakat), (2) harmoni kehidupan bersama, (3) toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, (4) kerjasama, saling menghargai dan memahami. sebagai bahan ajar yang dapat mencairkan kebekuan pemikiran (state of mind) peserta didik dalam merespons keanekaragaman. Sedangkan pada orientasi  reformasi unit pendidikan, setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai orang lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit oleh seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Diantara prinsip pendidikan Islam berbasis multikultural, adalah prinsip humanitas, unitas dan kontekstualitas yang meliputi : penanaman kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan kultur serta agama yang ada, penanaman semangat relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai perbedaan dan keunikan agama-agama, serta menerima perbedaan-perbedaan dengan pikiran terbuka demi terciptanya perdamaian dan kedamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar