Kamis, 12 Januari 2017

Essai : Demokrasi Milik Siapa?

Khilafah, arti penting dalam suatu kepemimpinan. Tidaklah arti khilafah itu pemimpin yg besar, bukan?  Sejarahnya Indonesia itu negara yang maju, negara yang sukses dengan keberanekaragaman budaya dan hartanya. Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia. Mungkin manusia bisa lupa tetapi alam tak akan bisa ingkar pada jati dirinya bahwa alam-alam yang kaya itu pernah berada di tangan kita, tangan besar bangsa Indonesia. Kita memiliki alam Papua, alam Sumatera, alam Bali, dan alam-alam besar lainnya yang kini hanya menumpang jasadnya di tanah air kita. Hasil dari minyak bumi, gas alam, tambang emas, kayu-kayu jati, bangsa lain yang menikmati tapi jasadnya kita yang memiliki. Kenapa bangsa ini terlihat begitu kecil? Bahkan sangat kecil sampai untuk berbicarapun dia tak mampu. Ketika dia ingin berkata ternyata ejaan yang belum sempurna menjadi kalimat itu-pun mengundang mereka yang memiliki ruh tanah Papua itu untuk datang. Dan akhirnya ruh itu dia “Sang Penguasa Demokrasi” tambahkan deritanya dengan menambah waktu jual hasil bumi Papua Indonesia kepada bangsa lain yang pintar samapai tahun 2041. Sampai kapan bumi kita ini akan terus dinikmati mereka? Jika bangsa Eropa, Amerika, mereka semua mampu menjajah ruh isi bumi kita, kenapa pemimpin-pemimpin kita menikmati dengan adanya itu? Betapa kecilnya kita ketika kita mendengar para ilmuan Amerika berkata “1% kekayaan yang kita miliki untuk dinikmati 99% rakyat Amerika,dan 1% kekayaan yang mereka miliki untuk dinikmati 99% bangsa kita”.
Sungguh kecil hati pemimpin bangsa kita ini karena dengan itu mereka merasa sebagai raja yang agung. Jika mereka sadar untuk apa mereka kita pilih, mereka akan berkata “saya dipilih untuk Indonesia yang lebih baik”. Saudara dipilih bukan dilotre meski kami tak kenal siapa saudara. Demokrasi itu memang membuat kita semua tidak saling mengenal. Tidak mengenal apa yang seharusnya bangsa ini butuhkan. Indonesia bukan negara kecil, Indonesia negara besar. Namun kita menjadi kecil ketika kita diam dengan suatu kesalahan yang ditutupi dengan baju yg berwujud raksasa besar dalam suatu kekuasaan. Jika kita tidak besar, kita tidak mungkin memiliki kekayaan alam hutan lindung sampai 9juta hektar. Jika pemerintah jujur kita mengambil hasil hanya 20% pun dari setiap pohon jati dari hutan lindung yang kita jual, dengan harga 1-2 juta per pohon, maka negara kita sudah mendapat 1000 triliun lebih tiap tahunnya. Namun kemana mental-mental kejujuran itu? Apakah ini yang kita harapkan dari pemimpin-pemimpin negeri  kita yang kita pilih sendiri dari presiden sampai jajaran terendah bapak ketua RT? Untuk apa kita memilih? Untuk apa mereka dipilih? Untuk siapa kita memilih? Mungkin orang bijak bisa berkata, “pemilihan yang adil dilakukan dengan cara demokrasi”. Tapi ketika rakyat kecil mencoba untuk belajar berbicara “demokrasi apa yang kita miliki saat ini? Demokrasi seperti apa yang harusnya terjadi?” si kecil itupun takkan mampu untuk bertahan dengan pertanyaan yang ia miliki itu.
Masih banyak di luar sana rakyat kita yang trauma dengan politik negeri ini. Seolah acuh dan tak peduli dengan kebisingan juga debu-debu politik yang tak tersembunyi lagi di negeri kita. Sesungguhnya politik negeri itu tidak mengenal usia, pangkat, dan jabatan. Jika kita ingin merubah negeri ini dengan undang-undang yang lebih sesuai dengan rakyat, maka ikutlah untuk turut adil di dalam perubahannya. Jika kita ingin membuat perubahan baju dalam hukum yang adil di negeri ini, maka masuklah dalam perubahannya.
Negeri ini sudah tua, negeri ini bukan lagi balita yang harus selalu disuapi dengan berbagai macam gizi dan vitamin yang sehat. Tapi jika negeri ini masih digeluti dengan mental-mental pemimpin yang rakus dan tamak, maka tak salah jika negeri ini dianggap seperti bayi yang hanya bisa menatap dan mencengkram erat jari telunjuk ibunya seolah tak mengerti apa-apa namun ternyata di dalam otaknya  ia berpikir keras tentang keadaan disekitarnya. Itulah gambaran bangsa ini. Bangsa yang rentan, bangsa yang polos, dan bangsa yang mempunya sejuta harapan dimasa depan ketika ia besar nanti. Bangsa ini tahu, sesungguhnya bukan lembaga-lambaga besar yang ia butuhkan, bukan sistem operasi yang baru yang ia butuhkan. Karena semakin banyak lembaga anti korupsi, sistem pemerintahan baru, pemimpin-pemimpin baru, maka akan semakin banyak pula kesempatan dan peluang orang-orang licik itu untuk berbuat dan menjadikan bangsa ini hancur. Tapi yang dibutuhkan bangsa ini adalah penanaman karakter yang tepat dain baik, sehingga bisa melahirkan generasi-generasi penerus yang tepat, yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Karakter itu ada dalam diri kita, fitriah anugerah yang manusia miliki. Ketika senang ia akan berusaha untuk mengumbar kesenangannya kepada orang lain, ketika sedih ia akan merasa sendiri. Pembentukan karakterlah yang mempunyai peran utama dalam kesuksesan negeri ini. Negeri ini bukan satu, negeri ini banyak. Banyak karakter yang aktif dan tumbuh dalam kepala negeri ini. Indonesia bisa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar