Selasa, 23 Desember 2014

Syafruddin Prawiranegara “Presiden Yang Terlupakan”

Syafruddin Prawiranegara “Presiden Yang Terlupakan” 
Sangat di sayangkan, sosok presiden yang menjabat di Indonesia ini jarang diketahui oleh warga negaranya sendiri. Pengetahuan mengenai presiden ini tidak diberikan di sekolah-sekolah umum layaknya presiden lainnya. Walaupun Syafruddin hanya menjabat sebentar sebagai presiden, seharusnya nama beliau dicantumkan dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah agar nama beliau tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Presiden Sulsilo Bhambang Yudhonono memberikan gelar pahlawan nasional kepada Syafruddin Prawiranegara dikarenakan beberapa hal. Seperti yang tercantumkan dalam sebuah artikel yang saya kutip berikut ini. Terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Pada tanggal 19 Desember 1948, kota Jogjakarta diduduki oleh Belanda. Soekarno dan Hatta kemudian ditangkap untuk diasingkan ke Pulau Bangka (foto dikiri). Rupanya sebelum ditangkap, sang Dwi-tunggal sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara. Sehingga pada tanggal 22 Desember 1948, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan Mr. Syafruddin Prawiranegara, sebagai Ketua PDRI. Kantor Pemerintahan Indonesia saat itu, antara lain berpindah dari Jogjakarta ke Bidar Alam, Sumatra Barat (foto dikanan). Berikut Pidato Syafruddin yang sangat terkenal, saat ia dilantik (tentu bahasa aslinya dalam ejaan lama) : Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti. Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh." Sejak pidato yang disiarkan secara luas itu membahana ke seluruh pelosok negeri, PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda. Tokoh-tokoh PDRI harus bergerak terus sambil menyamar untuk menghindari kejaran dan serangan Belanda. Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta beberapa daerah lain. Perlawanan PDRI di Sumatra dilakukan dengan membentuk 5 (lima) wilayah pemerintahan militer. Sehingga menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi militer Belanda. Sedang di Indonesia, pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Keadaan ini memaksa Belanda untuk menghadapi RI di meja perundingan, yang nantinya menghasilkan kesepakatan yang bernama Perjanjian Roem-Royen. Dengan perjanjian ini, kembalilah ibu kota Jogjakarta ke tangan Soekarno-Hatta (foto dikiri saat Jendral Soedirman kembali ke Jogja, diterima Soekarno). Tidak mengakui kepahlawanan Syafruddin, berarti menganggap bahwa sejarah Indonesia terputus antara Desember 1948 (sejak Soekarno-Hatta tertangkap) sampai kembalinya pemerintahan Indonesia ke Jogjakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Itulah argumentasi para ahli sejarah. Lalu siapakah yang memojokan Belanda sehingga mau berunding di perundingan Roem-Royen ?. Tentu PDRI bersama TNI-lah yang paling berjasa. Lalu bagaimana peran Syafruddin dalam Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) ? Pada awal tahun 1958, Pemberontakan PRRI terjadi akibat ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah Soekarno-Hatta, karena ketimpangan sosial yang terjadi dan juga semakin menguatnya pengaruh komunis (terutama PKI). Syafruddin diangkat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Sumatera Tengah (foto dikanan). Namun pemberontakan ini hanya berlangsung kurang dari setahun. Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI. Menurut para ahli sejarah, kalau amnesti dan abolisi sudah diberikan, maka pemberontakan PRRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara, secara de Facto dan de Jure dimaafkan oleh Pemerintah Indonesia yang sah. Itulah alasan kenapa para ahli sejarah mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Syafruddin. Lalu saya bertanya, “Apakah Soeharto bisa diusulkan menjadi Pahlawan Nasional ?”. Nampaknya salah satu hal yang mempersulit Soeharto untuk menerima penghargaan ini adalah, kebijakan “genocide” (pembunuhan massal tanpa proses hukum) yang pernah ia dilakukan. Peristiwa Genocide ini terjadi setelah perisitiwa G-30-S PKI dan juga peristiwa Pembunuhan Misterius (petrus). Buku-buku sejarah menunjukkan dan juga bahkan tulisan Soeharto sendiri menjelaskan, bahwa kebijakan Genocide, memang perintah yang dikeluarkan Soeharto. “Lalu bagaimana dengan Gus Dur”, tanya saya. Menjawab pertanyaan ini, para ahli sejarah terkesan hati-hati. Namun menurut mereka, salah satu kriteria gelar pahlawan adalah pernah memimpin perlawanan bersenjata terhadap penjajah. Berdasarkan artikel tersebut, sudah selayaknya Syafruddin Prawiranegara mendapatkan gelar kehormatan ini, karena beliaupun turut berjasa kepada Bangsa Indonesia. Ada Presiden lainnya yang luput dari pemberitaan, hal ini sangat disayangkan karena seharusnya bangsa ini lebih menghargai jasa-jasa siapapun yang ikut memajukan Bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar