Benarkah kalau mau
berfilsafat yang benar harus melepaskan keagamaan kita ? Jawabannya : Tidak
harus ! Mengapa ? Karena, berfikir kritis dan bisa berfilsafat secara benar
juga bisa dilakukan oleh mereka yang masih beragama. Sebaliknya, tidak ada
jaminan bahwa mereka yg tidak beragama atau melepaskan agama secara otomatis
dapat berfikir kritis dan berfilsafat dengan benar pula. Berfilsafat, adalah lebih pada masalah
kemampuan berfikir filsafat yang dimiliki oleh seseorang.
Jadi, apa masalahnya ?
Pahami dulu apa yang dimaksud dengan agama oleh mereka yang menganggap agama
itu tidak perlu ada dalam filsafat. Mengapa harus dipahami ? Ya, karena bisa
jadi, apa yg dipahami oleh mereka tentang agama, sehingga harus dilepaskan itu adalah
berbeda dengan dengan apa yang dipahami oleh orang lain, termasuk oleh mereka
yang dikritisi itu. Bukankah, Tuhan sendiri menantang manusia untuk berpikir
kritis dan membuat tandingan atas kata-kata Tuhan ?
Masalah filsafat, adalah
bagaimana kita mampu berfikir kritis tentang banyak hal secara mendasar.
Bagaimana kita mampu berfikir sesuai nalar yang logis, analitis dan sistematis
yang kira-kira dapat diterima oleh para pemikir filsafat lain sebagai sesuatu
yang sesuai dengan standar berfikir filsafat. Masalah berfilsafat adalah
bagaimana kita mampu mengembara secara nalar untuk mengetahui kebenaran yang
sesungguhnya atas sesuatu yang kita pikirkan atau atas apa yang ada dibalik
suatu pengetahuan tertentu.
Tentu saja, karena sifatnya
yang kritis dan mendasar, maka berfikir filsafat haruslah siap untuk
mempertanyakan segala sesuatu yang selama ini dianggap telah disepakati atau
dianggap sebagai sebuah kebenaran. Kita jangan langsung percaya atas asumsi
atau pengetahuan yang telah dianggap sudah umum diketahui. Justru, kita harus
membongkarnya habis-habisan, kemudian melakukan kritik, menguji kesahihannya
berdasarkan pijakan logika nalar manusia.
Nah, masalah berikutnya,
adalah bahwa manusia hidup tidak selalu harus menjadi filsuf, sebagaimana
halnya Hegel, Imanuel Kant, Bertrand Russel, Aristoteles, Plato, Socrates, Ibnu
Ruysd dan lain-lain. Mengapa ? Karena, masih banyak “profesi” lain yang telah
menunggu agar dunia ini menjadi seimbang. Perlu ada pemikir filsafat, perlu
juga saintis, akademisi, teknisi, disainer, karyawan, buruh, pemain bola,
pengurus jenazah, penyanyi, tukang gali kubur, juga pak “Haji” tukang berdoa
saat ada acara-acara sosial tertentu.
Lalu, apa masalahnya
filsafat dengan agama ? Tidak ada masalah. Bahwa bagi mereka yang mau berfilsafat,
ya silakan saja. Bagi mereka yang mau berfilsafat dengan melepas agama ya
silakan juga. Bagi mereka yang berfilsafat dengan tidak beragama, silakan juga.
Dan, bagi mereka yang mau beragama tanpa harus berfilsafat, tentu silakan saja.
Lalu, apa masalahnya ? Masalahnya, adalah jika masing-masing pihak menganggap
dirinya paling benar kemudian menganggap pihak lain adalah bodoh dan …..
Meski berfilsafat itu
penting, namun tidak harus ada anggapan bahwa beragama yang baik haruslah
terlebih dahulu menjadi seorang ahli filsafat, atau ikut berfikir secara
filsafat. Bukankah, para sahabat nabi pun tidak banyak yang tahu tentang
filsafat, namun penghayatan keagamaanya justru lebih baik ? Karena, memang
agama hakikatnya bukanlah filsafat, namun soal penghayatan spiritual, soal
pesan-pesan moral, juga sebagian berupa petunjuk praktis dalam hidup. Meski
demikian, agama pun bisa didekati dari cara berfikir filsafat. Bukankah Bilal,
sahabat Nabi, hanya tahu Islam itu adalah AHAD, sama sekali tidak kenal
filsafat, namun siapa yang berani katakan bahwa Bilah tidak memahami Islam
secara baik ?
Saya sendiri berpendapat,
bahwa filsafat itu diperlukan bagi mereka yng ingin memahami suatu hakikat
pengetahuan yang lebih mendasar dan utuh atas sesuatu dibalik pemahaman agama
atau pemahaman apapun yang telah ada di masyarakat.Bahwa ada pencerahan dari
cara berfikir filsafat. Bahwa ada kritik sosial yang mengena, agar seseorang
lebih memiliki kesalehan secara sosial, di samping kesalehan ritual (pribadi).
Namun, penghayatan atas agama
sangat ditentukan oleh masing-masing orang sesuai dengan kadar dan kepuasan
spiritualnya masing-masing. Ada yang cukup ikut mengaji pada ustadz, ada yang
cukup dengan apa yang didapat dari bangku sekolah atau madrasah. Ada yang cukup
setelah membaca sekian banyak buku, ada yang cukup setelah ikut berdiskusi dan
berdebat kian kemari.
Ada yang cukup ketika telah
berfikir filsafat ke sana ke sini, bongkar sana bongkar sini. Ada yang merasa
cukup setelah mengalami sendiri sebuah peristiwa yang sangat berkesan bagi
dirinya sendiri, dan lain-lain. Dan, ada yang juga tidak cukup-cukup saja setelah
melanglangbuana kemana-mana, bahkan setelah melepas agamanya sekalipun.
Mungkin, waktu saja yang akan menentukannya. Mungkin, ada juga yang tidak
cukup selamanya hingga dibuat “bingung” berketerusan hingga akhir hayatnya.
Dalam kaitan ini, maka berfilsafat
perlu proporsional, bahwa sejatinya filsafat bukanlah demi filsafat sendiri.
Namun, sebagaimana bidang pemikiran manusia yang lain, seperti ilmu agama,
sains, teknologi, seni dan lain-lain, maka filsafat pada akhirnya haruslah demi
kemanusiaan itu sendiri. Bahwa dengan filsafat, ada hal yang dapat disumbangkan
secara positif terhadap kemajuan kemanusiaan. Tentu, bukan berlaku sebaliknya,
malah melahirkan hal-hal lain yang anti kemanusiaan.
Bahwa masih banyak hal yang
menunggu peran aktif siapapun, termasuk kaum filsuf, untuk memecahkan
masalah-masalah kemanusiaan bersama yang bersifat universal, antara lain
masalah pangan, masalah kemiskinan, masalah lingkungan, masalah energi, masalah
kekerasan, masalah ketidakadilan, masalah HAM, dan lain-lain. Menurut saya,
justru masalah-masalah inilah yang mendesak kita bersama, para filsuf, saintis,
akademisi, teknisi, politisi, karyawan, buruh, tukang becak, pelajar,
mahasiswa, penulis, kaum beragama atau kaum tidak beragama, dan lain-lain,
untuk turut aktif dalam memecahkan masalah kemanusiaan universal secara
bersama-sama pula.
Bahwa, kini bukan saatnya
lagi, atas nama apapun untuk menyarankan kekerasan, atau memberikan penghinaan
kepada pihak lain yang dianggap berbeda. Tentu, kita punya cara-cara lain yang
dianggap lebih elegan dan manusiawi, serta lebih bermartabat dan beradab. Dan,
saya kira untuk inilah salah satunya manfaat dari berfilsafat (aspek aksiologis
filsafat), yakni bagaimana kita dapat membangun sebuah hubungan antar manusia
yang lebih adil dan beradab.
Bagaimana dengan pendapat
Anda ?
Demikian, terima kasih